Blog Yang Berisi Pandangan-Pandangan Organisasi Pergerakan Yang Bertujuan Mewujudkan Sosialisme Yang Demokratis di Indonesia. Untuk menghubungi kami silahkan mengirimkan email ke: arahgerak@arahgerak.co.cc

SUKSESKAN SILAHTURAHMI AKBAR RAKYAT MISKIN DI BEKASI, 30 AGUSTUS 2009 DENGAN TEMA" MAMPUHKAH PEMERINTAH DAN DPR HASIL PEMILU MENYELESAIKAN PROBLEM RAKYAT MISKIN?"

Terbaru

21 Juni 2008

TENTANG ALEXANDRA KOLLONTAI


ALEXANDRA KOLLONTAI:
Selalu Berdiri di Barisan Paling Depan*

Oleh Lilik Hastuti

Sejarah kaum perempuan, sejak mula adalah sejarah kekalahannya di bawah sistem kapitalisme yang dimenangkan laki-laki. Lihatlah, segala peperangan, setiap ledakan revolusi hampir pasti menampik peran perempuan. Mereka digiring ke ruang-ruang paling sudut; dilempar ke baris paling belakang. Peranan logistik, paramedis, administrasi, yang serba beraspek teliti-terampil hampir pasti, itulah yang dipersembahkan bagi perempuan. Kegemilangan Revolusi Rusia sendiri, yang selalu dirujuk sebagai referensi sejarah perubahan dunia, sepertinya telah menenggelamkan nama-nama dari sejumlah perempuan gemilang, mereka-mereka yang tegak berdiri pada garda terdepan.

Alexandra Kollontai, salah seorang politisi tersohor Rusia, ia menjadi tokoh utama dalam gerakan sosialis Rusia selama perang sipil dan Revolusi. Lahir dari keluarga yang sangat berkecukupan, di Ukraina pada tahun 1872 dengan nama Alexandra Domontovich. Ayahnya adalah seorang tuan tanah terkemuka di Rusia, sementara ibunya, seorang ibu rumahtangga yang berasal dari Finlandia. Oleh karenanya, ia tumbuh dalam pergaulan kalangan berada dalam dua budaya, Rusia dan Finlandia.

Sejak kecil Kollontai memperoleh pendidikan dengan kualitas yang baik, bahkan dengan dibimbing seorang guru privatnya, Victor Ostrogorsky ia mempelajari berbagai pengetahuan. Ia paling menyukai pelajaran sejarah, sastra dan bahasa. Sang guru meyakinkannya bahwa ia mempunyai bakat yang bagus dalam menulis, dan ia berpotensi untuk menjadi seorang penulis besar. Kollontai juga mempelajari bahasa-bahasa asing, tak kurang dari 5 bahasa asing dikuasainya.

Tumbuh sebagai gadis cerdas dan kritis, pemberontakannya dimulai ketika pada tahun 1893, ia memutuskan menikah dalam usia muda dengan Vladimir Kollontai, seorang insinyur teknik yang bekerja pada sebuah pabrik tekstil yang besar di Rusia. Seperti ditulis dalam biografinya “Menikah muda, adalah bagian dari protes melawan kehendak orangtuaku”

Aktivitas politik mulai dirambahnya pada usia 20-an. Suatu hari, tatkala berkunjung ke sebuah pabrik tempat suaminya di wilayah St. Petersburg, dengan mata kepalanya sendiri, disaksikannya kaum buruh yang hidup dihimpit kemelaratan. Bekerja lebih dari 8 jam sehari, dengan upah kecil, kondisi kerja yang buruk, tanpa jaminan kesejahteraan. Ini semua adalah kenyataan baru bagi Kollontai, mata hatinya lantas tergugah. Yang membedakannya dari kaum-kaum kaya kebanyakan, Kollontai tak berhenti pada tindakan karitas belaka. Kemelaratan kaum buruh di pabrik tekstil itu terus menghantui pikirannya.Ia mulai berpikir keras: mencari pembenaran, saat itulah Kollontai mulai berpikir tentang adanya sebuah kontradiksi kelas. Buruh dan majikan. Ia pelajari teori-teori Marxisme dan ekonomi. Ia juga membaca jurnal–jurnal radikal seperti Nachalo dan Novoye Slovo. Benar, tiba-tiba saja ia menjadi sangat bersemangat
Gambaran buruk kondisi pabrik dan kemiskinan kaum buruhnya mendorongnya untuk mencarikan jalan keluar. Jalan pertama yang dirasanya tepat adalah dengan mendirikan sekolah malam bagi para buruh di St. Petersburg. Ia mengajar sejumlah mata pelajaran dasar. Setiap malam, habis menyusui anaknya yang baru lahir, ia berangkat ke kontrakan para buruh, dan memulai sebuah tugas baru.

Demikian, Kollontai makin asyik dan larut dengan segala permasalahan buruh. Ia menemukan sesuatu yang baru; dunianya yang sejati. Aktivitasnya lantas merambah ke sebuah gerakan bawah tanah Political Red Cross, sebuah organisasi yang bertujuan untuk membela para tahanan politik. Ia juga terlibat kegiatan mengumpulkan dana bagi kaum buruh, memasang leaflet, yang semua dilakukannya menjelang pemogokan di pabrik.
1896, sebuah pemogokan buruh tekstil meledak di kawasan St. Petersburg, makin menyemangatinya untuk terlibat penuh dalam perjuangan buruh. Tak berhenti di situ, Kollontai juga mendaftar menjadi anggota perkumpulan yang didirikan oleh Lenin, yaitu Perkumpulan Perjuangan untuk Pembebasan Klas Pekerja.Disinilah ia menemukan tempat yang tepat dan segera terlibat dalam aksi-aksi pemogokan buruh tekstil dan menulis selebaran, dan menulis sebuah jurnal politik tentang perjuangan buruh. Ia turun tangan menyebarkannya di pabrik-pabrik dan perkampungan buruh sampai mengorganisir dana untuk pemogokan-pemogokan, semua kerja-kerja yang dilakukannya dengan riang hati.

Rela Berpisah dengan Suaminya

Kollontai mulai serius terlibat dalam kerja-kerja politik. Ia turut dalam semua proses pemogokan–pemogokan buruh. Di tengah aktivitas politiknya yang meningkat, keresahan di pabrik-pabrik di St. Petersburg semakin tinggi, keretakan rumah tangganya tak terelakkan lagi. Suaminya makin sulit untuk menerima pikiran dan kerja-kerja baru Kollontai. Tak ada pilihan lain bagi sebuah perbedaan pemikiran, mereka akhirnya bercerai dalam usia perkawinan baru 3 tahun. Dan Kollontai semakin aktif, semakin tersohor.

Kollontai mulai berpikir untuk belajar mendalami disiplin ilmu yang diminatinya, yakni ekonomi Marxis, dan itu harus dipelajarinya di Jerman. Akhirnya, terdorong oleh keinginannya yang sangat kuat itulah, ia rela meninggalkan anaknya dan berangkat ke University of Zurich, untuk belajar sejarah dan ekonomi Marxis. Di sana dia mulai tertarik dengan tulisan-tulisan George Plekhanov, Rosa Luxemburg dan Karl Kautsky. Kollontai juga sempat mengunjungi London dimana dia bertemu dengan seorang ahli sejarah perburuhan Sidney Webb dan Beatrice Webb. Dia menjadi berikrar menjadi penganut Marxis.

Pada tahun 1899, ia kembali ke Rusia.Dia sempat terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Finlandia. Dia membantu para buruh di Finlandia melalui serikat buruh dan menulis artikel tentang perjuangan rakyat Finlandia melawan otokrasi Rusia.Sebuah bukunya, The State of the Working Class in Finland diterbitkan pada tahun 1903.

1903 Kollontai mulai bekerja secara bawah tanah pada Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia (RSLDP). Itu terjadi paska terjadi perpecahan organisasi yang dimulai ketika diselenggarakan kongres kedua di London. Yakni perdebatan antara Lenin dengan Julius Martov.Lenin berpendapat, yang dibutuhkan adalah partai profesional revolusioner yang kecil dengan jaringan simpatisan yang luas, sedangkan Martov lebih meyakini sebuah partai kader yang luas Akhirnya berdirilah faksi Lenin yang dikenal dengan Bolsheviks dan Martov menjadi Mensheviks. Sempat bimbang menentukan pilihan, sampai akhirnya Kollontai memutuskan untuk bergabung dengan Bolsheviks.

Peristiwa Minggu Berdarah meledak pada tahun 1905. Gelombang pemogokan buruh menyeret ratusan ribu kaum buruh turun ke jalan. Di seluruh jalan tumpah ruah para demonstran yang menyerukan tuntutan yang dimulai dari kesejahteraan, penghentian PHK, jam kerja pabrik. Slogan “Tanah, Roti dan Perdamaian” menggema di sepanjang jalan St Petersburg.

Buruh-buruh perempuan yang ambil bagian penting dalam peristiwa bersejarah itu makin meyakinkan Kollontai bahwa kaum buruh perempuan harus direkrut sebanyak-banyaknya dan diorganisir untuk terlibat dalam perjuangan politik Kollontai yang menyedari pemikiran tentang emansipasi perempuan-nya muncul setelah dia membaca buku karangan Bebel yang berjudul Woman and Socialism, berinisiatip untuk mendirikan sebuah organisasi perempuan yang pertama St.Petersburg Society for Mutual Aid to Women Workers, setelah beberapa tahun sebelumnya ia mempelajari tentang pentingnya pengorganisiran terhadap perempuan. Ia menjadi salah satu tokoh penting dalam sejarah gerakan revolusioner—tentang pentingnya pengorganisiran buruh perempuan Rusia untuk menuntut hak-hak mereka.

Mulai tahun 1905 sampai 1908, ia aktif mengkampanyekan pentingnya mengorganisir buruh perempuan Rusia, dari tuntutan ekonomis dampai politis. Melalui intervensi pada pertemuan Serikat Buruh perempuan liberal, pemogokan dan aksi protes, landasan yang digunakan untuk gerakan massa.Kampanye-kampanye ini makin memantapkan posisinya dalam sejarah.

Namanya makin dikenal, pun di mata musuh. Ia, beserta semua aktivis revolusioner, masuk dalam jaring perburuan yang dipasang Tsar. Pada tahun 1917, ia dibuang ke luar Rusia. Selama periode pembuangan itu, Kollontai mulai aktif sebagai pembicara dan penulis di Jerman, Belgia, Prancis, Inggris, Skandinavia dan Amerika. Dia aktif menjadi agitator untuk Partai Sosial Demokratik Jerman. Menjelang Perang Dunia I, ia bahkan berkeliling ke Inggris, Denmark, Swedia, Belgia, dan Swiss. Bahkan sempat mengajar pada sekolah sosialis yang diorganisir oleh Maxim Gorky yang bernasib sama (dibuang) di Italia, pada tahun 1911. Selama dalam pengasingannya di Eropa mulai banyak terpengaruh oleh kaum reformis dari berbagai partai Sosial Demokrat Eropa.
Kollontai bekerja bersama kaum Bolshevik sampai tahun 1906, sampai kemudian ia bergabung dengan kaum Menshevik.Tapi perang dan penghianatan pimpinan-pimpinan kaum Sosial Demokrat menyebabkan ia kembali bergabung dengan kaum Bolshevik pada 1915. Dia menjadi pengikut setia Lenin. Pamfletnya yang berjudul Who Needs War?, yang disebar di prajurit-prajurit garis depan, diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Kollontai sempat mengadakan orasi keliling selama 4,5 bulan, mulai tahun 1915 ia ke Amerika untuk membangun dukungan untuk posisi Zimmerwalt kiri terhadap perang. Di sana juga ia mencoba mencari penerbit Amerika untuk menerjemahkan pamflet Lenin, Socialism and War. Kolontai menghadiri sebuah aksi rally dalam rangka mengenang Joe Hill di Seattle dan berbicara dengan platform yang sama seperti Eugene Debs di Chicago. Total semuanya, dia berpidato pada 123 pertemuan dalam 4 bahasa.

Ketika meledak Revolusi Februari yang gagal, Kollontai sedang berada di Norwegia. Dia menunda kepulangannya ke Rusia untuk menunggu artikel Lenin yang berjudul Letters From Afar, supaya sekaligus dapat dia bawa ke Rusia. Sesudah sampai di Rusia (19 Maret) dia segera bergabung bersama Shliapnikov (yang kemudian menjadi partnernya) dan Molotov yang beroposisi terhadap taktik kompromis Stalin dan Kamenev dengan Pemerintahan Sementara.

Dia kemudian terpilih menjadi anggota Komite Eksekutif Sovyet Petrogard. Mulai kepulangan Lenin pada awal April 1917, Kollontai memperlihatkan kesungguhan dan keseriusannya dalam mendukung slogan Seluruh Kekuasaan untuk Soviet (All Power to The Soviets).

Menjadi Mentri Perempuan Pertama di Dunia

Kollontai mempunyai pesona luar biasa, di samping kecerdasannya, parasnya rupawan, ia mempunyai kekhasan lain: gaya orasinya selalu menarik, mampu menggedor semangat, dan akhirnya menobatkan Kollontai sebagai salah satu orator terpopuler. Pidatonya pasti ditunggu-tunggu. Tak heran, setiap forum, setiap tempat mulai dari pertemuan-pertemuan kaum buruh, prajurit sampai pertemuan para pelaut, nyaris tak pernah luput tanpa kehadirannya.

Pada Kongres Partai bulan Juli, dia terpilih menjadi anggota penuh Komite Sentral dan ambil bagian dalam pertemuan Komite Sentral tanggal 23 Oktober yang memutuskan segera dimulainya Pemberontakan pada bulan Oktober. Meledaklah Revolusi Oktober 1917, Kollontai ambil bagian penting di dalamnya, bersama sejumlah kawan-kawan perempuannya.

Paska Revolusi, ia dilantik menjadi Komisaris Kesejahteraan Umum dalam pemerintahan Soviet— dan menjadi sekretaris Sekretariat Perempuan Internasional di bawah komintern. Kollontai merupakan menteri perempuan pertama di dunia. Kollontai pula yang memainkan peran aktif sebagai oposisi kiri dalam partai yang menentang Perjanjian Brest-Litovsk dengan Jerman. Karena kasus inilah, dia gagal untuk dipilih kedua kalinya menjadi anggota penuh Komite Sentral; sekaligus, dia juga dipecat dari pemerintahan. Selama periode 1918, Kollontai aktif menjadi seorang organisator dan agitator dan bulan November membantu menyelenggarakan Kongres Pertama Buruh dan Petani Perempuan Seluruh Rusia.

Kerja keras yang dilakukannya tanpa kenal lelah, tanpa mengenal waktu, membuat kondisi kesehatannya terus memburuk. Penyakit hati dan ginjal makin parah menggerogoti tubuhnya. Meski demikian, di tengah kepayahannya, Kollontai masih terus bekerja keras. Pada musim semi dan musim panas tahun 1919 tahun itu, Kollontai bekerja sebagai agitator partai di Ukrania, dimana sedang timbul ketegangan antara kaum revolusioner dengan kaum kontra revolusi.

Pada akhir tahun 1920, ia bergabung dengan Oposisi Buruh, yang memperlihatkan mulai adanya kecenderungan birokratisme di dalam partai dan negara, serta bersama Shliapnikov menjadi pimpinan terasnya. Pada Kongres ke-10 partai bulan Maret 1921 program-program yang diajukannya dianggap sebagai anarko-syndikalis.
Tahun 1922, oleh pemerintahan Stalin, ia ditunjuk bekerja di luar Rusia yaitu menjadi perwakilan Soviet di Norwegia pada tahun 1924 sampai 1925,dialah duta besar perempuan pertama di dunia. Selanjutnya dia menjabat duta besar di Meksiko, kembali ke Norwegia, dan terakhir di Swedia sampai masa pensiunnya tahun 1945.

Meskipun dalam posisi berseberangan dan anti birokratisme, Kollontai tidak pernah menggabungkan diri dengan kubu oposan Trotskyst. Dia merasa bahwa beroposisi terhadap Stalinisme yang sedang berkuasa di USSR adalah sia-sia belaka. Bentuk dari kefrustasiannya,ia menghindar dari dunia politik dan berusaha menunjukkan ‘kepatuhan’ pada aturan-aturan yang dibuat Stalin, kendati sama sekali tak bisa diterimanya. Sebagaimana pengakuannya kepada seorang kawannya,
“Saya telah meletakkan keyakinanku di sudut kesadaran yang akan muncul ketika ada kebijakan yang berusaha menindasku."

Posisi bersebrangan dengan kaum Stalinist menyebabkannya selalu menerima teror. Tak hanya bagi Kollontai, semua kawannya kaum revolusioner juga mengalami teror yang sama. Bertahun-tahun mereka hidup di bawah situasi teror, sampai akhirnya ia memutuskan untuk lari menyelamatkan diri. Pada tahun 1938, setelah kematian Stalin, tinggallah Kollontai, satu-satunya anggota Komite Sentral bulan Oktober 1917, yang tersisa tanpa lumuran darah. Bagi Stalin, Kollontai adalah orang yang sangat mudah ditaklukkan tanpa kekerasan. Sebagai tokoh senior Bolshevik dan figur yang cukup populer dalam dunia internasional, dia bisa digunakan untuk menunjukkan kemajuan Soviet dalam masalah kebebasan perempuan.

Dia mundur dari aktivitas politik dan bermukim di Moskow sejak 1945. Pada 9 Maret 1952, setelah tubuhnya tak sanggup lagi menahan deraan berbagai penyakit, perempuan tangguh itu meninggal dunia, pada usianya yang menginjak 80 tahun. Dia telah terlupakan. Pikiran-pikirannya dihambat, tapi ia masih terus mendukung Uni Sovyet. Baginya adalah sia-sia berbicara tentang keburukan pemerintahan Stalin ketika aroma kemenangan revolusi masih terasa. Dia menghibur diri dengan berpikir:

“Semuanya akan hilang oleh waktu. Dan ide-ide yang humanistik akan selalu menang………..Kecenderungan garis reaksioner tidak akan mampu bertahan lama. Tidak akan pernah! Sejarah telah membuktikan ini di banyak negara dan banyak masyarakat”.

Gerakan-gerakan pembebasan perempuan terus berjalan, terus berkembang, terutama pada tahuan 1960-an usai kematiannya. Pada setiap perputaran jaman, kita semua seperti digiring kembali pada kenangan terhadap seorang perempuan tangguh ini. Alexandra Kollontai, yang dengan teguh berjuang, demi pembebasan perempuan, dan tegaknya sosialisme, kendati, selalu saja tak pernah sampai pada titik kemenangan.
***


*Dimuat dalam Tabloid Pembebasan edisi No. 4/Tahun I/Oktober-Nopember 2002



Tidak ada komentar:

Baca Arsip Ini

Sebarkan Sosialisme


Jangan Berhenti Berpropaganda

Agen Sosialis

Mississippi Jones Act
Terus Berjuang Sampai Menang

Kamus Or Dictionary

Direct Action

Jelajah Dunia

Socialism 2008 - Malaysia

Jelajah ArahGerak

Media Borjuis


KRISIS LISTRIK DI INDONESIA

AGENDA PERLAWANAN RAKYAT

KPRM-PRD