Blog Yang Berisi Pandangan-Pandangan Organisasi Pergerakan Yang Bertujuan Mewujudkan Sosialisme Yang Demokratis di Indonesia. Untuk menghubungi kami silahkan mengirimkan email ke: arahgerak@arahgerak.co.cc

SUKSESKAN SILAHTURAHMI AKBAR RAKYAT MISKIN DI BEKASI, 30 AGUSTUS 2009 DENGAN TEMA" MAMPUHKAH PEMERINTAH DAN DPR HASIL PEMILU MENYELESAIKAN PROBLEM RAKYAT MISKIN?"

Terbaru

04 Oktober 2008

Tanggapan Terhadap Budi Wardoyo

Anti-Neoliberalisme Yang Bukan Sekedar Slogan; Tanggapan Terhadap Budi Wardoyo

Oleh: Data Brainanta
Staff Departemen Hubungan Internasional, DPP Papernas



Budi Wardoyo (Yoyok), seorang pimpinan KPRM-PRD, menyebarluaskan tulisannya yang berjudul "Arah Perjuangan Sebenarnya ..." [1] sebagai tanggapan terhadap tiga tulisan yang masing-masing dibuat oleh tiga aktivis Papernas, salah satunya adalah tulisan saya "Kesepakatan Minimum Kongkrit ..." [2].

Ada banyak hal yang diangkat dan dipermasalahkan oleh Bung Yoyok, namun secara umum saya sederhanakan menjadi dua garis argumen:

a. Seluruh politikus di luar pergerakan dan sektor pengusaha nasional tidak dapat dijadikan kawan dalam membangun koalisi anti-neoliberal [3], karena secara historik tidak berkapasitas untuk menegakkan kemandirian nasional. Yang mampu melaksanakan tugas ini adalah rakyat miskin.

b. Papernas telah meninggalkan pergerakan demi mengikuti pemilu 2009, dan pembangunan koalisi Papernas-PBR tidak berdasarkan kepentingan anti-neoliberalisme , melainkan kepentingan pribadi.

Sebelum mulai membahas kedua argumen ini, perlu saya terangkan terlebih dulu isi tulisan saya "Kesepakatan Minimum Kongkrit..." , yang dalam beberapa hal disalah-artikan oleh Kawan Yoyok, entah dengan sengaja atau tidak.



1. Diskusi Mana Yang Lebih Bermanfaat: Pro-Kontra Koalisi PBR-Papernas, atau Bagaimana Membendung Neoliberalisme?

Oleh karena saya meyakini bahwa yang terakhir adalah seribu kali lebih bermanfaat, maka tulisan saya yang ber-subjudul "Sebuah Sumbangan Pemikiran Untuk Pembangunan Persatuan Pro-Rakyat" saya kirimkan untuk menjadi bahan diskusi di milis Indoprogress. Tulisan yang dikecam Yoyok itu melemparkan suatu usulan sederhana tentang bagaimana menggunakan pemilu untuk membendung kebijakan neoliberal, yang bertanggung jawab atas hampir seluruh penderitaan rakyat Indonesia, dari kenaikkan harga BBM dan pangan hingga pengangguran besar-besaran.

Namun sayangnya Yoyok memahaminya dengan sempit dan berprasangka bahwa tulisan tersebut semata-mata sebuah seruan untuk "bersatu dengan PBR". Padahal tidak sedikit pun hal itu termuat (maupun terlintas di benak saya) dalam tulisan tersebut - pembaca dipersilakan menelitinya sendiri. Satu-satunya seruan yang terdapat dalam tulisan itu adalah untuk merumuskan suatu tuntutan anti-neoliberal yang kongkrit dan terbatas, baik di dalam dan luar parlemen, untuk diperjuangkan secara konsisten. Saran itu ditujukan pula ke jajaran anggota dan pengurus Papernas, bukan hanya ke umum, karena tentunya saya sebagai anggota Papernas sangat mengharapkan dan menuntut agar aktivis Papernas, termasuk yang bergabung dengan PBR, memperjuangkan ini. Begitu pula harapan saya terhadap individu pergerakan dan unsur pro-rakyat lainnya, yang berjuang di dalam maupun di luar ajang pemilu dengan wadah apa pun. Neoliberalisme adalah musuh yang kuat, yang tidak bisa dihadapi sendiri-sendiri, melainkan harus dikeroyok bersama-sama. [4]

Ajang baru perjuangan anti-neoliberal: Elektoral-Parlement er-Konstitusiona l

Gerakan anti-neoliberal sejauh ini terartikulasikan di luar parlemen, namun itu pun masih mengalami berbagai permasalahan sehingga belum melahirkan suatu gerakan politik alternatif dengan isu yang koheren. Ini bukan berarti merendahkan peran perjuangan ekstra-parlementer, namun menyadari rintangan dan keterbatasannya. [5]

Sementara di dalam parlemen bisa dibilang tidak terdapat gerakan anti-neoliberalisme dalam makna kekuatan politik yang konsisten memperjuangkannya. Isu-isu anti-neoliberal hanya diangkat bila dapat mendongkrak atau menjatuhkan popularitas kelompok politik tertentu. Benar sekali bahwa sejauh ini belum ada partai politik di parlemen yang konsisten anti-neoliberal; mereka bahkan tidak ragu-ragu mendukung kebijakan neoliberal bila ada kesempatan.[ 6]

Arena pertarungan yang tersedia bagi pergerakan, bagi perjuangan anti-neoliberal, adalah yang memungkinkan artikulasi kehendak rakyat. Arena yang memberikan ruang paling leluasa untuk ini adalah jalanan (ekstra parlementer) dengan aksi-aksi mobilisasinya. Keampuhan arena ini bisa dilihat, contohnya, dari aksi anti kenaikkan BBM yang kemudian mampu mendesakkan hak angket di dalam DPR, namun tidak menghentikan pemerintah menaikkan harga BBM.

Aksi-aksi anti-neoliberal yang besar dan militan lainnya pun masih seringkali belum mampu menahan derap maju kebijakan neoliberal, karena tidak secara langsung memiliki kekuatan legal untuk mendesakkan tuntutannya.

Ini menandakan perlunya melancarkan perjuangan dalam arena pertarungan lainnya yang terbuka bagi pergerakan, yakni badan-badan pemerintahan yang berisikan individu-individu yang dipilih rakyat, yakni parlemen dari lokal hinggal nasional. Walaupun arena ini memberikan ruang yang lebih terbatas dan tantangan yang lebih besar dibandingkan yang pertama, namun ia dapat sangat berpengaruh karena memiliki kekuatan legal yang berpotensi 'menghukum' - bahkan dalam kasus yang pelik, menggulingkan - eksekutif pro-neoliberal dan memberikan akses tersendiri lewat media bagi kampanye pro-rakyat. Persoalannya adalah bagaimana merubah perimbangan kekuatan yang ada agar unsur-unsur anti-neoliberal semakin membesar dan dapat terartikulasikan dalam parlemen.

Koalisi seputar tuntutan anti-neoliberal kongkrit

Tulisan saya mengajak untuk merumuskan program-program minimum kongkrit yang anti-neoliberal, yang dapat disepakati bersama dan dapat menjadi tempat berkumpul bagi unsur-unsur kerakyatan. Usulan ini sendiri bersumber dari inspirasi pengalaman gerakan kiri Amerika Latin sebagaimana dijelaskan oleh Marta Harnecker [7]:

"Untuk mengartikulasikan kepentingan aktor-aktor [korban neoliberal] yang beragam tersebut, perlu untuk memformulasi tuntutan-tuntutan kongkrit terbatas yang mempraktekkan strategi konvergensi (Harnecker, 491). Pendeknya, kita butuh mengelaborasi suatu program yang menggabungkan kepentingan dari mereka semua yang menjadi korban neoliberalisme. Platform ini akan menghadang perkembangan proyek neoliberal dan menawarkan alternatif kongkrit, seperti program anti-kelaparan yang diformulasikan oleh Presiden Brasil, Lula."

Secara khusus saya tekankan perjuangan elektoral karena konteksnya adalah momentum pemilu, yang memberikan kesempatan bagi penyerbuan unsur-unsur pro rakyat ke dalam arena parlementer. Jadi konsep koalisi ini adalah koalisi bersama yang terdiri dari berbagai partai dan individu oposisi yang menyepakati program-program minimum itu.

Contoh prakteknya bisa semacam pakta atau kontrak politik untuk menghapuskan atau merevisi legislasi yang pro-neoliberal (e.g. UU Migas, UU Penanaman Modal Asing). Tentunya dapat ditambahkan pula tuntutan-tuntutan lainnya seperti demokratisasi dan kesejahteraan, namun titik fokusnya perlu anti-neoliberal agar dapat efektif mempolarisasi pertarungan politik seputar persoalan anti- dan pro- kebijakan neoliberal. Dengan dilatari kemerosotan sosial ekonomi akibat kebijakan-kebijakan neoliberal, program-program ini, bila berhasil diartikulasikan dengan baik dan tepat waktu, berpotensi besar untuk disambut dan didukung oleh rakyat.

Malaysia: kesepakatan melawan rejim berkuasa (BN) melalui pakta rakyat (Pakatan Rakyat)

Taktik semacam ini dapat ditemui - mengambil contoh yang dekat - di Malaysia dalam bentuk kesepakatan rakyat (Pakatan Rakyat) dengan landasan yang cukup berbeda, yakni anti-pemerintahan Barisan Nasional (BN) yang berkuasa, bukannya secara khusus anti-neoliberal. Informasi berikut saya ambil dari catatan kaki berita "Kerjasama minimal dengan Pakatan, tidak dengan BN" yang dimuat di nefos.org [8]:

"Pakatan Rakyat adalah konsep koalisi partai-partai oposisi dengan ideologi yang cukup beragam (Partai Islam Se-Malaysia - PAS; Partai Tindakan Demokratik - DAP; dan Partai Keadilan Rakyat - PKR) dan merupakan kelanjutan dari Barisan Rakyat, suatu dokumen posisi dan panji yang didukung oleh sekelompok partai-partai oposisi (DAP, PKR, PAS, PSM, MDP dan PASOK) dalam masa kampanye pemilu Malaysia 2008 lalu. Dalam pemilu 2008, Barisan Rakyat meraih jumlah suara yang sangat signifikan hingga berhasil membentuk 5 pemerintah negara bagian dari 13 negara bagian di Malaysia, serta memenangkan 38% (82 dari 222) jumlah kursi di parlemen federal. (informasi diambil dari Wikipedia Bhs Inggris)"

Koalisi Pakatan Rakyat memang mungkin lebih sederhana karena memiliki musuh bersama yang lebih kongkrit - BN - seperti halnya Suharto dan Golkar di masa reformasi. Sementara neoliberalisme adalah suatu sistem yang relatif abstrak di mana kekuasaannya dijalankan oleh badan-badan tak terpilih yang dapat menjadikan politikus terpilih mana pun sebagai bonekanya dengan jeratan ketergantungan ekonomi. Oleh karenanya tantangan kaum pergerakan adalah menghadirkan neoliberalisme sebagai musuh bersama yang nyata, yang dapat dipahami dengan sederhana, dengan menunjukkan bentuk-bentuk kebijakan kongkritnya yang harus dilawan. Proses perjuangan ini tidak hanya bertujuan untuk membendung kebijakan neoliberal, tapi juga harus digunakan untuk memperbesar perimbangan kekuatan unsur pro rakyat; dengan kata lain, membangun kekuatan alternatif. Untuk ini diperlukan strategi yang melancarkan tuntutan-tuntutan tertentu menurut penentuan waktu (timing) yang jitu.

Di bawah ini saya akan coba menjawab beberapa pertanyaan Kawan Yoyok:

1) apakah makna “dalam perjuangan elektoral” [di judul tulisan Data] itu menggunakan alat PBR?

Jawab: Alat apa pun yang sepakat untuk membendung kebijakan neoliberal, termasuk PBR bila ia menyepakatinya. Agar sentimen anti-neoliberal tidak dikooptasi oleh kaum pro-neoliberal, perlu dirumuskan suatu program yang berisikan tuntutan yang kongkrit dan terukur, bukannya 'dimajukan' tuntutannya.

Dalam hal ini, saya juga akan menanggapi pertanyaan Yoyok:

"Untuk MENGKONGKRITKAN unsur-unsur yang berkesadaran anti-neoliberalisme (pada tahap awal) itu saja, Data harus menyebutkannya SECARA KONGKRIT—apakah itu PBR (apa ada partai-partai lainnya lagi?), apakah itu KADIN, apakah itu HIPMI, apakah itu Amin Rais, Apakah itu Rizal Ramli, apakah itu Hendro priyono, (yang sebenarnya sudah ditanyakan pada Data oleh Pius, tapi dijawab oleh Data dengan abstrak dan tak memiliki etika akedemik: sudah saya jawab dalam tulisan/artikel saya sebelumnya)"

Jawaban saya kepada Pius telah saya ajukan juga sebelumnya ke Zely: "patokan pembentukan koalisinya adalah ANTI-NEOLIBERAL"

Yang harus pertama-tama dikongkritkan (dalam arti diproses bersama, bukan sudah jadi) adalah APA yang diperjuangkan, bukannya SIAPA yang memperjuangkannya. Permintaan Yoyok tidak bisa dijawab pada saat ini. Rizal Ramli - misalnya - sejauh ini anti-neoliberal, namun siapa yang bisa menjamin ini tidak bisa berubah 180 derajat menjelang pemilu? Pertanyaan Yoyok memformalkan, membekukan percaturan politik, seakan-akan tidak ada pergeseran posisi yang signifikan. Padahal, sebagaimana diketahui, pergeseran koalisi elektoral antar partai-partai peserta pemilu sangat susah ditebak, dan sebagian besar berada di luar kendali kaum pergerakan, termasuk Papernas.

Landasan koalisi mereka adalah percampuran yang ruwet antara ambisi individu dan kepentingan partai, sementara kepentingan programatik mungkin seringkali ditaruh paling akhir. Menurut saya justru di sini peran pergerakan untuk menghadapi pergeseran politik yang chaos ini dengan memperjuangkan tradisi politik yang berbeda, yang programatik. Program itulah yang akan menjadi pegangan sekaligus senjata untuk menghadapi praktek politik busuk yang selama ini berlangsung.

2) apakah makna “dalam perjuangan elektoral” itu menggunakan Partai Perserikatan Rakyat (PPR)—yang juga mendaftarakan diri dalam Pemilu 2009, tapi gagal?

Jawab: Menurut saya, walaupun PPR sayangnya tidak lolos pemilu, sebagai salah satu kekuatan anti-neoliberal PPR masih bisa berjuang dengan mengkampanyekan program-program anti-neoliberal, baik dengan bergabung dengan partai yang lolos pemilu maupun melakukan mobilisasi massa di luar pemilu.

3) Atau persatuan kaum gerakanlah (dengan platform minimum kongkrit anti-neoliberal) yang membentuk partainya sendiri untuk ikut dalam ajang elektoral?

Jawab: Serupa dengan jawaban saya terhadap kasus PPR; karena dalam pemilu 2009 'partai persatuan gerakan' yang dikehendaki Yoyok belum terwujud, maka platform anti-neoliberal bisa diangkat di luar parlemen - idealnya bisa selaras dengan perjuangan di dalam parlemen. Bila kemudian pertarungan politik elektoral mengerucut pada anti dan pro neoliberal, maka logisnya gerakan ekstra-parlementer yang anti-neoliberal memberikan dukungan, setidaknya dukungan kritis, kepada kelompok parlemen yang anti-neoliberal. Dukungan kritis [9] seperti ini bisa dilakukan dengan mendukung pemerintahan atau pihak-pihak yang berkomitmen melaksanakan tuntutan-tuntutan rakyat, namun dengan segera menarik dukungan atau bahkan melawannya ketika mulai menjauh dari pelaksanaan tuntutan tersebut.

Bolivia: dari dukungan kritis, menjadi oposisi, dan kemudian menang


Contoh dukungan kritis yang dijalankan dengan jitu, menurut saya bisa ditemui di Bolivia dalam masa Presiden Mesa; yakni masa sebelum kenaikkan Presiden yang sekarang berkuasa, Evo Morales.

Bolivia pada awal milenium dikenal sebagai ajang pertempuran terdepan melawan neoliberalisme. Pada tahun 2000, mobilisasi rakyat yang massif di Cochabamba berhasil membendung privatisasi air dan menendang perusahaan AS, Bechtel, keluar dari negeri itu. Dua tahun kemudian, pemilu 2002 mengangkat gerakan politik penduduk asli (rakyat indian) Bolivia ke panggung pemerintahan, di mana pemimpin partai Gerakan Menuju Sosialisme (MAS), Evo Morales, yang berbasiskan rakyat indian petani koka, hanya kalah dengan selisih suara 2% dari Gonzalez Lozada. Ini meningkatkan kepercayaan diri gerakan rakyat indian.

Setahun kemudian, 2003, terjadi lagi mobilisasi besar-besaran menentang ekspor gas alam ke negeri tetangga, hingga berhasil menggulingkan Lozada. Wakil Presiden, Carlos Mesa, pun naik menggantikannya dan berjanji melaksanakan tuntutan rakyat berupa, antara lain, pengembalian kontrol gas alam ke rakyat Bolivia (nasionalisasi) dan menulis konstitusi baru yang mengangkat kedudukan rakyat indian negeri itu.

Beberapa kelompok kiri radikal segera beroposisi dan turun ke jalan melawan Mesa, namun MAS mempertahankan dukungan kritis. Ketika Mesa semakin bergeser ke kanan dan mulai melaksanakan kebijakan-kebijakan pro-neoliberal maka Evo Morales pun semakin bergerak ke kiri dan gencar mengkritik dan menyerangnya. Berikut sebagian cuplikan dari laporan Federico Fuentes pada masa itu [10]:

"Setelah Mesa menaikkan harga pajak bahan bakar di malam tahun baru [2005], Morales menyatakan dirinya “musuh nomor satu” Mesa dan memulai demonstrasi nasional di bulan Januari. Ketika RUU Gas dijadwalkan untuk dibahas kembali oleh Kongres di bulan Maret, Morales kembali memulai gelombang aksi protes dan blokade jalanan."

"Perbedaan posisi terbesar antara MAS dan gerakan sosial lainnya terletak pada tuntutan pembubaran parlemen dan pengunduran diri Mesa. Sementara kiri radikal menyetujui tuntutan-tuntutan tersebut, Morales berpendapat bahwa membubarkan parlemen berbahaya karena badan itu mewakili demokrasi, dan Kongres harus dipaksa untuk menghormati mandat dari rakyat. Ia berkata bahwa Mesa tidak harus mundur, tapi mengembalikan penguasaan gas dan membentuk majelis konstituensi [untuk penulisan konstitusi baru]"

Dengan semakin terbuktinya ketidakmampuan Mesa membendung neoliberalisme, seluruh gerakan sosial termasuk MAS menjalankan mobilisasi besar-besaran dalam bulan Mei-Juni yang kemudian berhasil mendesak Mesa untuk mundur. Pemilu yang dipercepat pun (menurut jadwal tahun 2007) dilaksanakan pada akhir tahun 2005. Seluruh partai yang berkompetisi mengusung tuntutan nasionalisasi, namun rakyat telah menjalani proses pembelajaran berharga sehingga terbukalah jalan bagi naiknya Presiden Pertama Amerika Latin yang berasal dari rakyat indian: Evo Morales.

2. Apakah Politikus Di Luar Pergerakan Dan Pengusaha Nasional Tidak Bisa Dijadikan Kawan Koalisi Anti-neoliberal?

Untuk menjawab ini tentunya perlu diperiksa dengan seksama siapa saja yang berkepentingan membendung neoliberalisme. Dalam tulisan "Kesepakatan Program Minimum..." saya mendiskusikan karakter neoliberalisme secara lebih umum dan menyimpulkan bahwa terdapat sektor pengusaha nasional maupun unsur-unsur lain di luar pergerakan yang secara obyektif dirugikan oleh kebijakan neoliberal dan berkepentingan melawan kebijakan tersebut, sehingga berpotensi untuk dilibatkan dalam suatu koalisi anti-neoliberal.

Namun tidak sedikit pun saya menyatakan bahwa kepemimpinan koalisi ini dibiarkan berada di tangan kepentingan pengusaha nasional atau unsur-unsur di luar pergerakan. Justru sebaliknya, pada awal tulisan tersebut saya menyampaikan interpretasi saya terhadap tulisan Marta Harnecker (2005) bahwa "Unsur-unsur gerakan yang bersatu atau terkoordinasi dalam koalisi ini berperan menjadi perekat sekaligus poros strategis (core) yang akan menjaga agar koalisi tersebut tetap berjalan di rel pro-rakyat."

Dengan kata lain: Kaum pergerakan harus MEMENANGKAN KEPEMIMPINAN koalisi alternatif anti-neoliberal ini. Namun pengertian "kepemimpinan" harus dipahami sepenuhnya sebagai suatu proses yang demokratis, bukan sebagai sesuatu yang sudah terhidangkan sejak awal. Proses ini membutuhkan perdebatan, diskusi, dan kampanye yang enerjik untuk meyakinkan unsur-unsur di luar pergerakan agar menyepakati dan memperjuangkan tujuan kaum pergerakan. Dengan begitu kaum pergerakan justru tidak boleh mundur bila ternyata koalisi anti-neoliberal ini dimasuki oleh unsur-unsur konservatif atau oportunis, justru harus berupaya untuk memperkuat barisan dan memenangkan massa mereka ke dalam perjuangan anti-neoliberal yang konsisten.

Berangkat dari sini, marilah kita lihat kesalah-pahaman Yoyok dalam memahami strategi koalisi ini:

Pengusaha nasional lemah tidak punya kapasitas membangun kemandirian nasional

Sebelumnya perlu saya tekankan bahwa pengusaha nasional tidaklah monolitik, melainkan terbagi-bagi ke dalam sektor-sektor dan kelas-kelas dengan variasi kepentingan. Contohnya, pengusaha eksportir memiliki kepentingan yang berbeda dengan pengusaha importir dalam hal kebijakan mata uang asing.

Kelemahan Pengusaha Nasional ini bagi Yoyok merupakan penyebab tidak mampunya pengusaha nasional menegakkan kemandirian nasional. Benar, saya tidak menyangkal hal itu. Justru karena itulah sebagian sektor pengusaha nasional seperti ini membutuhkan bantuan negara yang signifikan agar usahanya dapat hidup dan berkembang.

Dalam masa Orde Baru, terdapat simbiosis antara pengusaha dan pemerintahan Suharto yang menguntungkan kroni, birokrat, dan keluarga di sekeliling Suharto. Dalam masa neoliberal paska Suharto, hubungan ini perlahan digantikan dengan simbiosis antara pemerintah pro-neoliberal dengan kapital transnasional, dan sebagian sektor pengusaha domestik besar yang diuntungkan kebijakan neoliberal. Di luar itu terdapat sektor-sektor pengusaha yang lebih kecil yang dirugikan oleh monopoli kapital transnasional dan kebijakan pro-neoliberal [11].

Benar, mereka tidak bisa memimpin perlawanan terhadap neoliberalisme sendirian, oleh karena itu mereka membutuhkan dukungan dan energi dari kelompok politik lain. Pilihan mereka secara kasar ada dua: kaum kanan, yang rekam jejak anti-neoliberalisme nya diragukan, atau kaum kiri. Persoalannya bukanlah menyingkirkan atau mengeksklusikan (exclude) mereka dari perjuangan anti-neoliberal, melainkan merangkulnya sekaligus memperkuat unsur pro rakyat agar dapat menjaga independensinya dan tidak bergantung pada mereka. Dalam hal ini, pengusaha nasional yang posisi dan kapasitasnya lemah sesungguhnya justru memberikan perimbangan kekuatan yang lebih menguntungkan rakyat.

Marta Harnecker (2005), berpendapat senada dengan ini, dalam mendiskusikan strategi kiri di Amerika Latin:

"Ke dalam pengelompokkan [korban neoliberalisme] ini, kita harus tambahkan sektor-sektor kapitalis yang telah memasuki kontradiksi obyektif dengan kapital transnasional. Kita di sini tidak merujuk pada suatu "borjuasi nasional progresif" yang mampu memainkan peran memimpin dalam mengembangkan proyek pengembangan nasionalnya sendiri, tetapi sektor-sektor yang agar dapat bertahan tidak memiliki alternatif selain memasukkan diri ke dalam proyek nasional, kerakyatan. Sektor-sektor ini bergantung pada kredit dari negara dan diuntungkan oleh pasar internal yang besar bagi produk-produk mereka, yang dirangsang oleh kebijakan sosial dari suatu pemerintahan progresif."

Masih seputar kemandulan pengusaha nasional, Yoyok menambahkan komentar berikut:

"Apakah bisa dibayangkan mereka [pengusaha nasional] berani melepaskan diri dari ketergantungan terhadap (modal) asing? Tidak, bagi pengusaha (bahkan politisi) “realistis”; dan, walaupun mereka memiliki keberanian, kehendak politik, namun mereka tidak mengandalkan dirinya pada kekuatan rakyat yang sadar (ideologis), maka nasibnya sudah pasti, seperti juga terjadi pada rejim-rejim “nasionalis” yang pernah ada: ambruk."

Akan lebih mudah pembahasannya bila Yoyok mencontohkan rejim-rejim 'nasionalis' mana yang ambruk. Apakah rejim-rejim nasionalis di Vietnam, di Kuba? Ataukah rejim nasionalis seperti di Jerman Nazi? Indonesia saat Sukarno atau Suharto? Marilah persoalan nasionalisme ini dibahas secara lebih obyektif, jangan dijangkiti oleh 'nasionalistofobia' .[12]

Melepas ketergantungan modal asing, bukanlah pekerjaan semalam. Ini membutuhkan kebijakan negara untuk secara proaktif menyediakan modal dan memfasilitasi pengembangan dunia usaha nasional. Di Venezuela, contohnya, walaupun sektor-sektor borjuasi Venezuela tidak memiliki jiwa nasionalis sedikit pun, Chavez tetap berupaya meraih dukungan mereka dengan suatu kebijakan kredit khusus.[13]

Yang bisa dilakukan negara progresif terhadap modal asing dalam waktu yang lebih mendesak adalah mengontrolnya dan memanfaatkannya untuk mengembangkan kapasitas produksi nasional sambil menekan dampak negatifnya.[ 14]

Pengusaha industri mendukung kenaikan harga BBM?

Yoyok menyangkal pernyataan saya bahwa "kenaikan BBM ... memukul hampir seluruh sektor pengusaha". Untuk ini ia menyodorkan berita-berita yang melaporkan dukungan pimpinan organisasi pengusaha (Kadin dan Apindo) terhadap rencana pemerintah menaikkan BBM [15]. Ia kemudian menyimpulkan:

"Para Pengusaha, yang dikatakan oleh Data dan Gede sebagai calon sekutu potensial dalam melawan neoliberalisme, sayang sekali ternyata mendukung kenaikan harga BBM, bahkan bukan hanya Individu per individu melainkan secara organisasional, sehingga pikiran yang mengharapkan para pengusaha ini bisa menjadi sekutu dalam melawan neoliberalisme, harusnya dibuang jauh-jauh ke tong sampah yang paling busuk."

Baiklah. Sejumlah pimpinan pengusaha mendukung kenaikkan BBM. Tapi apakah pengusaha sebagai suatu sektor masyarakat secara obyektif tidak dirugikan oleh kenaikkan BBM? Apakah Yoyok berhasil membuktikan bahwa pernyataan saya "kenaikkan BBM memukul hampir seluruh sektor pengusaha" adalah salah? Hal ini tidak dijawab oleh Yoyok. Ia hanya membeo perkataan pimpinan APINDO dan Kadin yang mendukung kebijakan pemerintah, untuk mendukung keyakinannya bahwa pengusaha tidak bisa dijadikan sekutu melawan neoliberalisme.

Secara logika sederhana saja dapat disimpulkan bahwa kenaikkan BBM pasti meningkatkan biaya produksi dan transportasi (termasuk uang makan dan transportasi buruh), dengan demikian mengurangi marjin profit pengusaha.[16] Adalah fakta bahwa secara ekonomi kenaikkan BBM merugikan kepentingan pengusaha.[17] Pukulan ini lebih terasa dampaknya bagi pengusaha menengah dan kecil.[18]

Namun, memang benar, perilaku politik pengusaha belum tentu mencerminkan kepentingan ekonominya. Perilaku politik mereka, seperti halnya sektor masyarakat lainnya, dapat dipengaruhi juga oleh berbagai macam faktor, termasuk afiliasi/kepentinga n politik mereka maupun hegemoni negara. Dalam hal kenaikkan BBM terakhir, Sofjan Wanandi menerima alasan pemerintah untuk menaikkan harga BBM walaupun ia juga mengakui bahwa kebijakan tersebut berdampak negatif bagi dunia usaha.[19] Namun apa kita bisa mentah-mentah mengambil pernyataan Sofjan Wanandi untuk menyimpulkan bahwa seluruh sektor pengusaha mendukung kenaikkan harga BBM?

Dengan contoh lain dapat saya tanyakan, bila (seperti diceritakan oleh Bung Yoyok) beberapa serikat buruh besar seperti SPSI, SPN, dan FSPMI memilih mengundang Presiden SBY dalam May Day Fiesta, apakah itu berarti sektor buruh mendukung SBY sehingga mereka tidak bisa dijadikan kawan koalisi untuk melawan rejim neoliberal SBY?

Saya bukan mengatakan bahwa kaum pengusaha memiliki potensi anti-neoliberal yang sama dengan buruh, hanya sekedar menunjukkan bahwa Yoyok melakukan generalisasi habis-habisan terhadap sektor pengusaha nasional. Ia memandang hutan tanpa bisa melihat pepohonan. Tidak semua pengusaha nasional bisa dijadikan kawan koalisi, melainkan mereka yang dirugikan oleh neoliberalisme dan terpaksa bergabung di bawah kepemimpinan kekuatan anti-neoliberal untuk membendungnya. Memang benar terdapat pula segelintir pengusaha nasional yang sangat kuat setingkat perusahaan transnasional, seperti Bakrie dan Panigoro, tapi justru bukan mereka yang dijadikan kawan potensial utama dalam koalisi anti-neoliberal.

Siapa yang memberikan imbalan? Pengusaha atau Rakyat?

Dengan demikian perlu diluruskan kengawuran Yoyok seperti di bawah ini:

"...bila memang mereka [pengusaha] mau mengandalkan, bersandar, pada rakyat, lalu apa bagian yang akan diberikan pada rakyat? Apakah imbalan (pada rakyat) seperti yang diberikan oleh “nasionalisme” fasis Jerman?; atau apakah imbalan (pada rakyat) layaknya sosial-demokrasi ala Eropa?; atau imbalan (pada rakyat) seperti yang dipersembahan oleh negeri (yang sedang menuju sosialisme) venezuela? ..."

Kawan Yoyok. Capaian-capaian yang didapatkan di negeri-negeri lain, seperti negeri sos-dem di Eropa hingga negeri (menuju) sosialisme di Venezuela, bukanlah 'imbalan' kelas pengusaha terhadap rakyatnya, melainkan hasil perjuangan rakyat pekerja di negeri-negeri tersebut. Kesejahteraan sosial di Venezuela saat ini, contohnya, merupakan hasil dari kuatnya gerakan rakyat dan berkuasanya pemerintahan pro-rakyat, sehingga sumber daya negeri itu bisa digunakan untuk kepentingan rakyat banyak.

Sedangkan sebagian kelas pengusaha di Venezuela memutuskan untuk berpihak pada revolusi Bolivarian karena mereka tidak punya kapasitas untuk mandiri tanpa bantuan dari negara. Selain itu mereka juga diuntungkan oleh kebijakan-kebijakan Chavez yang berpihak pada pembangunan industri nasional. Ini dilakukan antara lain dengan cara pemberian kredit khusus, menggalakkan industri-industri tertentu yang memasok kebutuhan rakyat seperti pangan, dan meningkatkan standar kehidupan dan daya beli rakyat, sehingga menyediakan pasar domestik yang menguntungkan bagi dunia usaha. Jadi justru sebaliknya, pemerintah pro-rakyat di Venezuela memberikan 'imbalan' berupa kebijakan yang pro-industri domestik, agar pengusaha berpihak pada rejim revolusioner.

Hal serupa terjadi di negeri-negeri sosdem, dengan perbedaan bahwa rejim-rejim tersebut tidak revolusioner (tidak berupaya meninggalkan kapitalisme) , melainkan hanya mempertahankan kesejahteraan kelas pekerja dalam kerangka kapitalisme; sehingga ketika mereka dilanda oleh krisis kapitalisme, maka daya tawar kelas pekerja ikut merosot dan jaminan sosial yang ada semakin dikikis. Di negeri-negeri sos-dem di Eropa barat dan Skandinavia sedang terjadi penurunan standar kehidupan kelas pekerja akibat neoliberalisme; kontras dengan peningkatan dan perbaikan hidup yang berlangsung di negeri-negeri Amerika Latin seperti Venezuela, Bolivia, bahkan Kuba.

Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa kemandirian nasional bukanlah semata-mata proyek kelas pengusaha saja, atau rakyat miskin saja, tapi proyek seluruh sektor rakyat yang dirugikan oleh 'ketidakmandirian nasional' dan menyadari kebutuhan 'kemandirian nasional' untuk kehidupan yang lebih baik, yang bebas dari atau mampu menjinakkan monopoli kapital transnasional. Sektor-sektor rakyat yang dapat memperjuangkannya termasuk juga kelas menengah, intelektual, akademisi, pengusaha, pegawai negeri dan korban neoliberalisme lainnya. [20] Adalah proses berjalannya perjuangan tersebut yang akan menunjukkan siapa yang tetap di barisan dan siapa yang bubar jalan.

3. Bagaimana Seharusnya Papernas Menjawab Tuduhan Negatif Tentang Strategi Elektoralnya?

Jawaban untuk ini bagi saya sederhana saja: praktek.

Saya yakin tidak banyak manfaatnya menanggapi tuduhan-tuduhan negatif yang mendera Papernas dengan menggunakan tulisan atau polemik. Landasan program dan strategi koalisi Papernas sudah cukup luas beredar dan diangkat justru oleh pengecam nomor satunya, KPRM-PRD [21]. Tentunya mereka tidak mau mempercayai apa yang tertulis dalam dokumen Papernas dan susah payah membuktikan dengan logika yang naif dan apriori bahwa manuver politik Papernas tidak berlandaskan anti-imperialisme neoliberal.

Prasangka sempit dan logika yang tak valid

Pembuktian ini coba dilakukannya dengan membeberkan kecacatan rekam jejak PBR dan keburukan sistem demokrasi parlementer yang ada. Namun kesimpulannya hanya berkisar pada asumsi dan prasangka karena belum tersedianya fakta pendukung (a-priori) dan digunakannya cara berpikir (logika) yang tidak valid. Maka memperdebatkan itu tidak akan berujung pada kesimpulan yang valid; hanya akan dibawa berputar-putar untuk menjawab kecacatan di masa lalu yang mereka korek-korek.

Contohnya: Bung Yoyok menyimpulkan bahwa koalisi Papernas dengan PBR tidak akan melahirkan suatu kekuatan alternatif karena "...Sejarah kelahiran PBR, komposisi pembentuknya dan praktek politiknya selama ini sangat jelas menunjukan siapakah PBR itu: dalam pengertian ideologis, PBR adalah partai dengan ideologi borjuis..."

Dengan premis itu Yoyok menyimpulkan bahwa koalisi Papernas (kita ambillah bahwa Papernas itu pro-rakyat) dengan PBR (anti-rakyat) tidak akan menghasilkan suatu kekuatan baru yang pro-rakyat. Apakah telah terdapat fakta-fakta yang mendukung ini? Apakah PBR, setelah beberapa tokoh Papernas bergabung dan membaur ke dalamnya, melaksanakan atau menyetujui kebijakan anti-rakyat? Pendeknya, apakah ada fakta bahwa PBR, sejak Dita Sari dkk. bergabung ke dalamnya, menunjukkan keberpihakan pada neoliberalisme? Pertanyaan-pertanya an ini belum bisa dijawab karena jawabannya praktis belum tersedia. Tidak ada bukti. Selama fakta-fakta itu belum ada; maka kesimpulan Yoyok belum bisa dibuktikan atau diuji dengan kenyataan - belum valid. Tidak benar, tidak juga salah.

Apakah dengan demikian tidak bisa menilai seorang partai atau politikus berdasarkan masa lalunya, rekam jejaknya? Tentu bisa, tapi metode a-priori seperti itu tidak cukup untuk menentukan apa yang akan terjadi di masa depan. Dibutuhkan praktek untuk mengujinya dengan kenyataan yang ada, apalagi dalam menilai hal yang lebih kompleks seperti koalisi politik antara dua partai yang karakternya berbeda - ini tentunya jauh lebih rumit dari sekedar menilai kelayakan individu.

Sebagaimana diketahui, tentunya dengan sangat baik oleh Yoyok cs, bahwa politik tidak bisa disamakan dengan matematika sederhana, di mana kenyataan dapat diwakili oleh abstraksi, dan kebenaran bisa didapatkan secara a-priori tanpa perlu diuji oleh kenyataan. Pernyataan 2+2=4 adalah abstraksi yang berlaku pada semua masa dan segala situasi tanpa perlu diuji dalam praktek.

Namun pernyataan Yoyok mengenai koalisi Papernas-PBR yang kira-kira abstraksinya: pro-rakyat + anti-rakyat = anti-rakyat, tidak mungkin berlaku di segala situasi. Jawabannya hanya bisa didapat melalui praktek, bukan melalui rumus atau teori, karena terdapat banyak faktor yang mempengaruhi, baik yang berada dalam kendali kita (subyektif) maupun yang tidak (obyektif). Lebih-lebih lagi ketidak-valid- an pernyataan di atas bukan hanya disebabkan oleh belum adanya fakta yang mendukung, melainkan juga cara berpikir (logika) yang salah, yang hanya menyajikan satu skenario akhir dengan membuang kemungkinan skenario lainnya.

Ambillah contoh seorang aktivis yang 'bersih'. Bila ia masuk dalam suatu partai politik yang 'busuk' apakah bisa dipastikan bahwa satu-satunya skenario adalah dia akan jadi 'busuk' juga? Bukankah ada beberapa kemungkinan: Pertama, dia bisa menjadi 'busuk', terkooptasi. Kedua, dia bisa tetap bersih tapi tidak bisa memperbaiki partainya sehingga harus keluar atau dikeluarkan. Ketiga, dia mampu merombak partainya menjadi 'taubat nafsuhi' seperti kata Yoyok, jadi bersih. Namun bagi Yoyok skenario lainnya tidak perlu dipertimbangkan, karena menurut ramalannya sudah pasti aktivis tersebut akan terkooptasi jadi busuk.

Permisalan tersebut bisa sedikit disamakan dengan kasus PBR-Papernas. Hasil dari koalisi PBR-Papernas belum bisa dipastikan dan merupakan proses yang sedang berlangsung, di mana masih terjadi tarik-menarik kepentingan. Arah pergerakannya dipengaruhi oleh dinamika perimbangan kekuatan yang ada baik secara internal maupun eksternal koalisi tersebut. Dan dalam hal perimbangan kekuatan: memperjuangkan platform atau program dengan menggunakan sebuah partai tentu jauh lebih kuat dari pada menggunakan individu.

Namun bagi Yoyok, faktor-faktor ini tidak perlu dipertimbangkan. Apa yang sesungguhnya adalah kemungkinan, di mata Yoyok cs menjadi keniscayaan, kepastian. Ia sejak awal sudah bisa menetapkan - mungkin dengan indra keenam - bahwa seketika Papernas menjalankan koalisi elektoral dengan PBR, maka sejak saat itu juga ia terkooptasi. Hebat.

Begitu pula dengan istilah-istilah lainnya yang mereka gunakan untuk mengecam Papernas seperti terkooptasi, oportunisme, terkapitulasi, dan banyak lainnya. Bila ditelusuri dengan seksama, tuduhan dan pelabelan yang dilakukan seenaknya dan secara sepihak ini pada dasarnya masihlah a-priori, tidak valid secara logika, lebih menyerupai opini atau prediksi, bukannya fakta.

Yang menguatirkan adalah ini disajikan layaknya fakta oleh KPRM-PRD, dan diulang-ulang terus menerus dalam tiap kesempatan. Semoga ini bukan penerapan perkataan Goebbels, Menteri Penerangan (Pencerahan Umum dan Propaganda) Nazi: "Kebohongan yang diulangi seribu kali akan menjadi kebenaran".

Perjuangan elektoral: setengah hati vs sepenuh hati

Selanjutnya saya ambil tulisan Yoyok yang lain berjudul "Pemilu 2009 Dan (Ilusi) Kaum Pergerakan". [22] Di situ ia dengan cukup akurat merangkum alasan-alasan Papernas mengikuti Pemilu 2009:
1. Bahwa menjadi peserta pemilu, akan memberikan ruang yang besar bagi kaum pergerakan untuk meluaskan kampanye mengenai program-program kerakyatan.
2. Dengan meluaskan kampanye program-program kerakyatan, diharapkan akan memperluas dukungan rakyat (dalam bentuk perluasan struktur gerakan)
3. Dengan demikian kapasitas/kesanggup an rakyat untuk berjuang akan semakin menguat.
4. Jika berhasil dalam pemilu, dan akhirnya berhasil mendapatkan kursi, maka ruang kampanye akan semakin lebih luas lagi.

Di akhir tulisan Yoyok menyatakan bahwa ia "menolak ... menjadi peserta pemilu 2009, bukan karena tidak bersepakat pada empat argumentasi ... di atas, melainkan lebih pada tidak tersedianya syarat bagi empat argumentasi tersebut bisa praktikal:"

Syarat-syarat itu tidak dijelaskan secara lugas oleh Yoyok, melainkan dipenuhi oleh berbagai komentar tentang hal-hal berbeda. Namun demikian saya coba ringkaskan sebagai berikut dengan harapan tidak jauh berbeda dari apa yang ada di kepala Yoyok. Syarat-syarat tersebut adalah:

1. Menggunakan Partai yang dibangun sendiri oleh kaum pergerakan

2. Struktur yang diperluas adalah Partai sendiri; atau bila harus menggunakan partai borjuasi maka dipilih yang memiliki struktur luas seperti PDIP dan PKB, bukannya PBR yang bukan partai populer.

3. Peluang menang kursi DPR/D harus cukup besar

Untuk mendukung persyaratan yang diajukannya ini Yoyok mengajukan contoh kasus dan kemungkinan skenario yang menunjukkan bahwa Papernas tidak akan bisa menggunakan pemilu sebagai panggung program progresif.

Dan lagi-lagi, dengan berbekal pengetahuan a priori (berandai-andai) , Yoyok menyimpulkan dengan ringan: "Artinya taktik [sebagian] kaum pergerakan untuk bergabung dengan partai-partai peserta pemilu 2009 ini, lebih di sebabkan oleh alasan pragmatis... [tidak percaya kekuatan massa, bosan jadi miskin]"

Membandingkan antara argumen intervensi pemilu Papernas dan persyaratan Yoyok, saya justru menarik kesimpulan berikut:

Baik Yoyok maupun Papernas setuju bahwa pemilu harus diintervensi untuk memperluas kampanye program; namun Yoyok hanya mau melaksanakan ini bila persyaratan yang dibuat olehnya sendiri dapat dipenuhi. Yakni, menggunakan partai dan struktur sendiri, dan hanya bila pemilu memberikan peluang yang cukup besar untuk menang kursi DPR/D. Persyaratan ini pun, sejauh yang terlihat barulah merupakan pengandai-andaian. Sementara bagi Papernas, persyaratan ini bukan utama; yang utama adalah menggunakan pemilu untuk memperluas program-program kerakyatan, apa pun tantangannya. Tidakkah ini bisa dibilang bahwa Papernas lebih sungguh-sungguh dan Yoyok cs, setengah hati?

Lucunya Yoyok mempermasalahkan beralihnya konsentrasi Papernas dari aksi-aksi massa yang tak berhubungan dengan pemilu sebagai meninggalkan pergerakan, meninggalkan aksi massa. Perbedaan prioritas atau konsentrasi merupakan cerminan dari perbedaan strategi dan taktik, namun apakah itu bisa dibilang meninggalkan pergerakan? Apakah ketidaksertaan Papernas dalam aksi ABM menentang UUK 13 - karena sedang berkonsentrasi pada persiapan pemilu - berarti Papernas tidak menyetujui atau mendukung aspirasi buruh mengenai UU itu?

Mari kita balik permisalannya: Apakah ketidaksertaan beberapa organ kiri (termasuk KPRM-PRD) dalam aksi-aksi LMND dan SRMI (Papernas) dalam menuntut nasionalisasi pertambangan sejak akhir Februari 2008 lalu (bahkan tanpa ada pernyataan solidaritas pun) berarti mereka tidak menyetujui nasionalisasi? Dan mereka tidak boleh menuntut nasionalisasi pertambangan di kemudian hari? Masing-masing pihak tentu punya berbagai alasan untuk menjawab ini, tapi bukan itu masalahnya. Masalahnya adalah perbedaan seperti ini seharusnya tidak perlu dijadikan bahan untuk merendahkan dan mengecam pihak lain.

Sekali lagi saya nyatakan, bahwa cara terbaik untuk menyangkal argumen (persyaratan) yang diberikan Yoyok adalah melalui praktek. Papernas harus membuktikan bahwa ajang pemilu 2009 dapat digunakan untuk mengkampanyekan program-program kerakyatan, tepatnya anti-imperialisme neoliberal.

4. Landasan Teori

Menguji secara praktek bukan berarti sekedar melihat bagaimana nantinya, sebagaimana dituduhkan Zely Ariane; karena praktek Papernas menurut saya dilandasi dan sesuai dengan teori yang ada; yakni, perjuangan parlementer adalah suatu keharusan di saat ilusi rakyat terhadap sistem parlemen yang demokratik (demokratik menurut ukuran borjuasi, bukan kalangan progresif) masih kuat. Selama belum ada pemerintahan revolusioner yang cukup kuat dan menandingi pemerintahan yang berkuasa, selama belum terbentuk parlemen jalanan dan semacamnya maka arena parlementer adalah AJANG PERTEMPURAN UTAMA yang HARUS dimenangkan oleh gerakan pro-rakyat.

KEKUATAN UTAMA tetap berada di luar gedung parlemen, di tengah-tengah massa rakyat, namun parlemen yang masih dikuasai oleh kaum anti-rakyat merupakan alat yang sangat kuat dan ampuh dalam memanipulasi rakyat, menidurkan massa, dan mengalihkan kemarahannya. Oleh karena itu pengorganisiran rakyat bukan saja dilakukan untuk memberdayakannya secara politik dan ekonomi, tetapi juga untuk menguasai negara atau pemerintahan lewat jalan konstitusional, demokratik, parlementer.

Perjuangan sungguh-sungguh kaum progresif dalam jalan konstitusional parlementer adalah proses pembelajaran massa yang paling efektif untuk menunjukkan kemungkinan- kemungkinan dan, yang terpenting, batasan-batasan sistem demokrasi yang ada. Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa ini satu-satunya jalan. Namun menekankan bahwa bila jalan ini terbuka - sekecil apa pun bukaannya- , maka inilah yang harus pertama-tama ditempuh dengan sekuat tenaga.[23]

Independensi atau kesetiaan terhadap tujuan yang progresif dijaga dengan menuangkan program kongkrit yang akan diperjuangkan dan dikampanyekan secara konsisten, yang bila kemudian memenangkan badan eksekutif akan segera diimplementasikan. Sementara persoalan alat politik milik siapa yang digunakan, sebagaimana dipermasalahkan oleh Yoyok cs, menurut saya bukanlah persoalan pokok bila dinilai mampu memberikan cukup ruang untuk kampanye program kerakyatan. Setahu saya tidak ada teori yang mengatur bahwa alat politik yang digunakan harus yang sejak awal dibangun oleh kaum progresif.[24]

4. Penutup

Kawan Yoyok ialah seorang aktivis buruh yang militan dan cukup saya hormati. Namun memang perlu untuk memperdebatkan posisinya karena, menurut saya, sejumlah pandangan dan praktek Yoyok maupun kelompoknya, KPRM-PRD, yang menyerang unsur anti-neoliberal, Papernas, [25] dan dalam beberapa kasus merintangi upaya-upaya koalisinya [26] adalah kontra-produktif, baik bagi perjuangan anti-neoliberal maupun bagi proses konvergensi gerakan di Indonesia. Syarat persatuan adalah kebesaran hati untuk mengesampingkan perbedaan yang tidak mendasar dan mengangkat tinggi-tinggi persamaan yang ada. Maka perbedaan-perbedaan taktik, seperti ekstra atau intra-parlementer, mobilisasi isu ini atau isu anu, seharusnya bukan jadi faktor pemecah-belah dan bisa dikesampingkan demi mengarah pada keselarasan (kalau tidak bisa kesatuan) aksi dan propaganda anti-neoliberal.

Maka dalam tahap awalnya, persatuan anti-neoliberalisme sewajarnya adalah anti-neoliberalisme - yakni menyertakan seluruh sektor masyarakat yang menjadi korban neoliberalisme dan berkepentingan menghadangnya -; jangan justru disempitkan menjadi anti-kapitalisme, anti-reformis- gadungan, anti-politisi- busuk, anti-sisa-orba, atau anti-anti lainnya sehingga yang tersisa hanyalah segelintir kelompok radikal yang tak memiliki akses luas ke massa. Perjuangan koalisi anti-neoliberalisme ini merupakan suatu proses yang awalnya dapat menyertakan unsur-unsur yang konservatif dan mungkin diragukan komitmennya, namun dalam perjalanannya akan menunjukkan kepada rakyat siapa-siapa saja yang sejatinya anti-neoliberal, yang pro-rakyat. Untuk mendulang emas, kita memulainya dengan lumpur, bukan emas.

Hanya dengan beginilah, menurut saya, anti-neoliberalisme di Indonesia akan menjadi suatu kekuatan politik yang riil dan signifikan yang dapat menggerakkan massa luas rakyat, bukan sekedar slogan.

Akhir kata marilah kita merefleksikan masih banyaknya cita-cita penting reformasi yang belum terwujud, terutama menurunnya standar kehidupan rakyat dan belum berkuasanya pemerintahan yang pro-rakyat, bahkan setelah 10 tahun kejatuhan Suharto. Apakah strategi pergerakan untuk menjatuhkan Suharto bisa diterapkan begitu saja dalam periode demokrasi-neolibera l saat ini? Bukankah diperlukan strategi baru yang sesuai dengan situasi yang telah berubah?

------------ --



[1] http://arahgerak. blogspot. com/2008/ 09/bualan- prd-papernas. html

[2] http://arahkiri2009 .blogspot. com/2008/ 09/kesepakatan- tuntutan- minimum-kongkrit .html

[3] Dalam pembahasan kali ini, maupun dalam diskusi di milis IndoProgress sebelumnya, saya menyederhanakan neoliberalisme menjadi 'kebijakan anti-rakyat' . Sudah cukup banyak tulisan yang membahas tentang neoliberalisme; tulisan saya yang dibahas oleh Yoyok juga membahasnya secara singkat.

[4] Di sini saya klarifikasikan bahwa tidak pernah sekali pun saya menyatakan - baik dalam tulisan maupun perdebatan - bahwa PBR selama ini adalah partai anti-neoliberal. Lucunya, justru ini yang diartikan oleh Pius, Zely, dan Yoyok. Yang saya yakini sebagai partai anti-neoliberal adalah Papernas.

Namun, karena neoliberalisme menghantam kepentingan luas masyarakat di Indonesia, maka saya meyakini bahwa terdapat kontradiksi antara kepentingan pro- maupun anti-neoliberal dalam jajaran anggota dan pengurus partai besar mana pun, walaupun tentunya perimbangan kekuatan tersebut berbeda-beda dalam masing-masing partai.

Oleh karenanya, pernyataan bahwa koalisi Papernas dengan PBR berlandaskan anti-neoliberalisme berarti bahwa PBR memberikan ruang lebih besar untuk kampanye program-program anti-neoliberal dibandingkan partai besar lainnya (lagipula partai besar mana yang selama ini tidak sedikit pun menunjukkan pro-neoliberalisme dalam rekam jejaknya? Tidak ada); dan dengan masuknya tokoh-tokoh Papernas ke dalam PBR, maka kekuatan anti-neoliberal dalam partai tersebut tentu mendapat suntikan tenaga. Sejauh mana koalisi dengan Papernas akan merubah karakter PBR, atau sebaliknya, masihlah perlu dilihat ke depannya.

[5] Permasalahan dalam gerakan anti-parlementer saat ini merupakan suatu subyek pembahasan tersendiri dan tidak dibahas dalam tulisan ini. Buku Max Lane terbaru, Unfinished Nation: Indonesia Before and After Suharto, menurut kabar menyinggung persoalan ini. Walau demikian diharapkan akan ada suatu analisa dan pembahasan yang lebih khusus tentang subyek ini.

[6] Menurut saya, kalau pun partai-partai politik mainstream ini hendak melawan laju neoliberalisme, mereka belum tentu mampu, karena benteng-benteng pertahanan neoliberal terletak di badan-badan yang mempengaruhi perekonomian dan biasanya berada di luar jangkauan kontrol pejabat terpilih, seperti Bank Sentral dan IMF (dan badan-badan donor seperti USAID), dan juga faktor kekuatan finansial yang bila merasa terancam dapat melarikan sejumlah besar uang untuk mencekik perekonomian (Harnecker, 2005).

Modus operandi ini terlihat, contohnya, saat kepemimpinan Gus Dur; ketika pemerintahannya berupaya tawar-menawar dengan IMF dan menahan pelaksanaan kebijakan neoliberal, maka beberapa kali nilai kurs Rupiah jatuh sehingga mengguncang legitimasi politiknya. Oposisi saat itu mengartikannya sebagai kegagalan kebijakan Gus Dur, namun ia mengklaim bahwa itu didalangi spekulator di Singapura. Tentunya, bila eksekutif pun dikuasai oleh kekuatan neoliberal - seperti saat ini di bawah SBY-Kalla - maka orang-orang pro-neoliberal pun ditempatkan di posisi-posisi kabinet yang mengontrol perekonomian.

Posisi keuangan Indonesia sekarang mungkin sudah berbeda dengan di waktu masa Gus Dur ketika masih terbelit krisis ekonomi. Ini ditambah lagi dengan kemunculan blok-blok alternatif seperti Tiongkok, India, Amerika Latin, dan Rusia, yang mungkin dapat mengurangi ketergantungan terhadap modal negeri-negeri imperialis termaju. Namun prospek anti-neoliberalisme dalam konteks internasional ini membutuhkan pembahasan tersendiri.

[7] Harnecker M, "Tentang Strategi Kiri; Tanggapan Terhadap Steve Ellner" (2005) (http://kajian- indoprogress. blogspot. com/2008/ 08/tentang- strategi- kiri.html)

[8] http://nefos. org/?q=node/ 38

[9] Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI) melakukan hal serupa dengan mengadakan suatu kontrak politik untuk mendukung PBR dalam pemilu 2009, dengan syarat partai tersebut harus sepakat dan memperjuangkan tuntutan-tuntutan SRMI. Bila itu tidak dijalankan, SRMI mengancam untuk menarik dukungannya, mengkampanyekan kepada massanya untuk meninggalkan PBR, dan mengambil inisiatif sendiri. Kritik saya terhadap kontrak ini sendiri adalah program-program yang dicantumkannya (e.g. memperjuangkan pendidikan dan kesehatan gratis, membela rakyat miskin) masih belum diterjemahkan secara lebih kongkrit sehingga menyisakan ruang manuver bagi PBR untuk mengesampingkannya.

[10] http://nefos. org/?q=node/ 41

[11] Rudi Hartono menulis sebuah artikel yang menggambarkan ancaman monopoli ritel dalam mematikan pengusaha-pengusaha yang lebih kecil di sektor tersebut, yang juga menjadi jalur pemasaran usaha-usaha kerajinan dan produsen berskala kecil-menengah (http://arahkiri200 9.blogspot. com/2008/ 09/mencermati- abuse-of- dominant- position. html)
[12] Zely Ariane dan Budi Wardoyo - pendeknya tokoh-tokoh KPRM-PRD - sepertinya memiliki antipati tak berdasar terhadap nasionalisme. Saya membahas dengan singkat tentang hubungan nasionalisme dan perjuangan anti-imperialisme neoliberal dalam tulisan "Kesepakatan Program Minimum...".

Kawan Yoyok, dalam menanggapi tulisan tersebut, mempermasalahkan pengertian saya yang menyatakan bahwa perjuangan anti-imperialisme neoliberal di dunia ketiga atau negeri korban imperialis adalah wajar dan benar bila berkarakter nasionalis, namun tidak demikian halnya di negeri imperialis. Dia memperingatkan demikian:

"Data, hati-hati definisi anti-neoliberalisme anda bisa menjadi Xenophobia. Neoliberalisme, yang juga ada di negeri-negeri asalnya, negeri-negeri imperlisme, pun harus dilawan oleh rakyatnya sendiri dengan bersolidaritas dengan kita!"

Apakah maksud kawan Yoyok adalah nasionalisme yang anti-imperialis akan menciptakan Xenophobia? Saya rasa Kawan Yoyok tidak perlu menguatirkan xenophobia terhadap rakyat negeri imperialis. Saya setuju sepenuhnya bahwa perjuangan anti-neoliberal di negeri imperialis harus dilakukan dengan bersolidaritas dengan kita. Namun bentuk solidaritasnya berbeda, bukan dengan memperjuangkan kedaulatan nasional mereka dari penjajahan asing, melainkan dengan memprotes penjajahan imperialis neoliberal yang dilakukan oleh negara mereka sendiri. Dengan kata lain bukan berkarakter nasionalis.

[13] Harnecker (2005) menuliskan:

"Sektor-sektor kunci dari oligarki Venezuela tak memiliki jiwa identifikasi nasional, dan ini menjelaskan deklarasi perangnya terhadap pemerintahan Chavez. Bukan berarti pemerintahan Chavez tidak seharusnya melakukan upaya gabungan untuk meraih dukungan sektor-sektor bisnis dengan suatu kebijakan kredit khusus untuk menggalakkan pengembangan mandiri, yang menjadi tujuan pemerintah."

[14] Bisa dilihat dari pernyataan Perdana Menteri Nepal yang berhaluan kiri, Prachanda, tentang rencana kebijakannya menyangkut modal asing (http://nefos. org/?q=node/ 36), maupun dari kuliah yang diberikan oleh Fuwa Tetsuzo tentang teori pembangunan ekonomi di Tiongkok (http://nefos. org/?q=node/ 37)

[15] Yoyok salah menyangka bahwa saya tidak mengetahui tentang pernyataan dukungan pimpinan Kadin dan APINDO terhadap kenaikan harga BBM. Saya sebenarnya mengetahui hal itu, walaupun berada di Kanada - terimakasih kepada dunia internet -, namun (tidak seperti Yoyok) saya tidak menyimpulkan begitu saja bahwa pernyataan pimpinan Kadin dan APINDO mewakili sikap seluruh pengusaha di Indonesia.

[16] Sebagai contoh bisa dilihat komentar MS Hidayat, ketua Kadin, yang dimuat oleh Antara pada 27 Mei 2008 (http://www. antara.co. id/arc/2008/ 5/27/pengusaha- harus-bertahan- biaya-transporta si-dan-makan- sulit-naik/ ):

"Sebelum naik [harga BBM] saja marjin profit sudah lima persen, sekarang setelah kenaikan bisa di bawah lima persen,"

[17] Berikut cuplikan berita yang menggambarkan komentar pengusaha menyangkut kenaikan harga BBM:

"Kenaikan BBM memang akan menambah beban usaha tapi akan seperti sudah jatuh ditimpa tangga pula, jika ditambah beban dengan pengeluaran yang sebagaimana perlunya ada, maka sudah naik BBM ditimpa dengan ekonomi biaya tinggi." (http://www. gafeksi.or. id/warta/ 78/index. htm) - Juli 2008

"Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), MS Hidayat mengatakan, hingga enam bulan ke depan merupakan masa `recovery` bagi pengusaha akibat kenaikkan harga BBM, karena itu pengusaha akan kesulitan untuk menaikkan biaya transportasi dan makan karyawan.

"Sampai enam bulan adalah masa `recovery` setelah terpukul oleh kenaikan BBM. Salah satu upaya menyelamatkan perusahaan adalh tidak menaikkan biaya transport dan makan, tapi itu tidak disamakan di semua perusahaan," " (http://www. antara.co. id/arc/2008/ 5/27/pengusaha- harus-bertahan- biaya-transporta si-dan-makan- sulit-naik/ )

"Pihaknya [ketua Apindo, Sofjan Wanandi] menjelaskan, pengusaha meminta pemerintah tidak menaikkan harga BBM untuk sektor transportasi publik. Sebab, jika harga BBM menjadi mahal, pengusaha sama saja tertimpa dua kali masalah, yakni kenaikan biaya produksi dan upah karyawan." (http://www. indotextiles. com/index. php?option= com_content&task=view&id=302&Itemid=72) - 2 Mei 08

[18] "Kenaikan harga BBM akan terasa sekali oleh perusahaan menengah ke bawah, terutama industri makanan olahan," kata Agus [Gustiar, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Barat] menambahkan. "

(http://www. antara.co. id/arc/2008/ 5/23/bbm- naik-pengusaha- sulit-cegah- phk/)

[19] Berbeda dengan kenaikkan BBM sebelumnya pada tahun 2005, kenaikkan BBM tahun ini dipersiapkan dengan lebih matang, antara lain dengan melobi pengusaha pada awal Mei untuk mendukung kebijakan tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh Jusuf Kalla (http://www. tempointeraktif. com/hg/ekbis/ 2008/05/10/ brk,20080510- 122825,id. html).

Lihat cuplikan berita berikut pada 2 Juni 2008; komentar Sofjan Wanandi nadanya telah diperhalus dibandingkan pernyataannya pada awal Mei di atas (http://apindo. or.id/baru/ kliping/aW5mbyw2 OTA=?e9fa20710b9 c9715986c8457eb3 654b9=40370a745d 0ff75d1e168bfd15 722e82):

"...Ketua Umum Apindo, Sofjan Wanandi, mengatakan, kalangan dunia usaha pasti akan merasakan dampak kenaikan harga BBM bersubsidi. Dalam hal ini, kalangan dunia usaha memahami kesulitan yang dialami pemerintah terkait besaran subsidi untuk BBM...

...Untuk itu, lanjutnya, pemerintah harus secepatnya menaikkan harga BBM sehingga bisa memberikan kepastian kepada pengusaha untuk melakukan penyesuaian. "Sekarang ini serba tidak jelas, semuanya masih serba mungkin. Tentunya jika terus tanpa kepastian, yang rugi pengusaha. Saat ini semuanya minta dibayar tunai (pemasok) dengan tempo singkat. Belum lagi kenaikan harga yang sudah terjadi meski harga BBM belum dinaikkan. Sementara, kita masih bingung untuk melakukan penyesuaian, " tutur Sofjan."

[20] Belum jelas apakah korban-neoliberalis me ini termasuk apa yang disebutkan Yoyok cs (KPRM-PRD) sebagai "rakyat miskin". Sering kali istilah "rakyat miskin" diberi tanda kurung dan disandingkan dengan "rakyat pekerja", sedangkan korban neoliberalisme menyertakan juga mereka yang tidak termasuk kelas pekerja. Sejauh ini belum terlihat definisi yang jelas tentang 'rakyat miskin' yang dimaksudkan oleh KPRM-PRD, walaupun bisa jadi itu serupa dengan istilah Sukarno "marhaen" atau istilah James Petras "kelas kerakyatan" (popular classes).

[21] lihat website KPRM-PRD http://kprm- prd.blogspot. com/2008/ 01/proposal- politik-interven si-pemilu- 2009.html

[22] http://arahgerak. blogspot. com/2008/ 08/respon- pemilu-2009. html

[23] Meskipun berulang-kali disangkal oleh berbagai individu yang terkait dengan KPRM-PRD, saya mencurigai bahwa penentangan KPRM-PRD terhadap strategi elektoral Papernas sebenarnya bukan sekedar perbedaan taktik elektoral (koalisi dengan partai mainstream vs bersikeras maju dengan partai sendiri walaupun belum dimungkinkan dan akhirnya golput), melainkan bersumber dari perbedaan cara pandang atau ideologi tentang memenangkan kekuasaan revolusioner: antara setuju perjuangan parlementer dan tidak.

KPRM-PRD sepertinya memiliki keyakinan (yang masih perlu diuji dalam praktek) bahwa perjuangan memenangkan pemerintahan pro-rakyat tidak bisa dilakukan lewat mekanisme demokratik yang ada, melainkan harus melalui cara-cara yang lebih radikal seperti pembentukan dewan rakyat. Saya rasa ini penyebab dari kesetengahatian mereka menempuh jalan parlementer. Pandangan ini sendiri menurut saya tidak bisa dibilang salah, mengingat banyaknya kekalahan tragis dalam sejarah berbagai perjuangan legal untuk mencapai kekuasaan rakyat. Namun dalam prakteknya, dalam pendemonstrasiannya ke rakyat, ide ini lebih tepat bila diterapkan dengan melakukan intervensi sepenuh hati dalam praktek demokrasi yang ada, untuk memperagakan dan mengubah batasan-batasannya, bukannya mengecam dan mencaci-makinya dari luar proses yang berjalan.

[24] Ini menarik untuk dijadikan topik diskusi tersendiri.

[25] Kawan Zely dalam diskusi di Indoprogress mempertanyakan apa yang saya maksudkan dengan KPRM-PRD menyerang Papernas.
Yang saya maksudkan dengan menyerang adalah melakukan kampanye ke umum untuk menjatuhkan kredibilitas sesama kelompok pergerakan. Berbeda dengan melakukan polemik atau perdebatan. KPRM-PRD bisa saja mengkritik habis-habisan koalisi Papernas-PBR dalam perdebatan, namun melakukan kampanye hitam (black campaign) ke umum dan mencap Papernas dengan sebutan-sebutan negatif (oportunis, dsb) hanya dengan berdasarkan asumsi adalah sesuatu yang sama sekali berbeda.

[26] Contohnya, baru-baru ini terungkap bahwa KPRM-PRD mengupayakan agar LMND (salah satu unsur Papernas) ditolak menjadi bagian dari organ solidaritas yang semestinya berprinsip terbuka, Hands Off Venezuela. Lihat surat Zely Ariane (http://groups. yahoo.com/ group/diskusi_ amerikalatin/ message/262) .


Tidak ada komentar:

Baca Arsip Ini

Sebarkan Sosialisme


Jangan Berhenti Berpropaganda

Agen Sosialis

Mississippi Jones Act
Terus Berjuang Sampai Menang

Kamus Or Dictionary

Direct Action

Jelajah Dunia

Socialism 2008 - Malaysia

Jelajah ArahGerak

Media Borjuis


KRISIS LISTRIK DI INDONESIA

AGENDA PERLAWANAN RAKYAT

KPRM-PRD