Blog Yang Berisi Pandangan-Pandangan Organisasi Pergerakan Yang Bertujuan Mewujudkan Sosialisme Yang Demokratis di Indonesia. Untuk menghubungi kami silahkan mengirimkan email ke: arahgerak@arahgerak.co.cc

SUKSESKAN SILAHTURAHMI AKBAR RAKYAT MISKIN DI BEKASI, 30 AGUSTUS 2009 DENGAN TEMA" MAMPUHKAH PEMERINTAH DAN DPR HASIL PEMILU MENYELESAIKAN PROBLEM RAKYAT MISKIN?"

Terbaru

26 Agustus 2008

Respon Pemilu 2009

PEMILU 2009 DAN (ILUSI) KAUM PERGERAKAN
Oleh: Budi Wardoyo (1)
Diambil dari www.fnpbi-prm.blogspot.com


Menjelang pemilu 2009 nanti, peta politik kaum pergerakan, nampaknya akan mengalami polarisasi besar, terutama polarisasi antara pilihan politik untuk mengikuti pemilu sebagai peserta (dengan bergabung ke partai politik yang telah ada) versus pilihan poltik yang menolak menjadi peserta pemilu.

Pilihan politik untuk mengikuti pemilu 2009, yang antara lain di ambil oleh Partai Rakyat Demokratik dan Organ-Organ Sewakawannya(2) , paling tidak beranjak dari argumentasi :

  1. Bahwa menjadi peserta pemilu, akan memberikan ruang yang besar bagi kaum pergerakan untuk meluaskan kampanye mengenai program-program kerakyatan.
  2. Dengan meluaskan kampanye program-program kerakyatan, diharapkan akan memperluas dukungan rakyat (dalam bentuk perluasan struktur gerakan)
  3. Dengan demikian kapasitas/kesanggupan rakyat untuk berjuang akan semakin menguat.
  4. Jika berhasil dalam pemilu, dan akhirnya berhasil mendapatkan kursi, maka ruang kampanye akan semakin lebih luas lagi.

Selain argumentasi di atas, ada juga argmentasi tambahan lainnya, yakni:

  1. Bahwa pemilu 2004 yang lalu, para partai-partai politik yang mengikuti pemilu adalah gerombolan partai politik yang mengabdi pada jalan lama, yakni jalan neoliberalisme, sehingga rakyat tidak mendapatkan alternatif lain. Oleh karena itu, agar rakyat mempunyai alternatif lain, maka kaum pergerakan harus menjadi bagian dari peserta pemilu 2009.
  2. Selama periode 2004 sampai sekarang, telah terjadi perubahan arah politik dari berbagai kekuatan politik yang dahulu dinyatakan sebagai kekuatan poilitik reformis gadungan, sehingga kekuatan reformis gadungan ini (yang sekarang telah menjadi kekuatan ‘progresif’) bisa dijadikan sekutu dalam proses mengikuti pemilu 2009, bahkan sebagian kekuatan militerpun, saat ini dinyatakan mempunyai potensi untuk dijadikan sekutu, demikian juga dengan pengusaha, asalkan mempunyai platform kemandirian bangsa.


Argumentasi yang lebih pragmatis, untuk memilih posisi menjadi peserta pemilu 2009 adalah :

  1. Politik yang real/kongkrit adalah politik parlemen, bukan politik parlemen jalanan
  2. Sudah cukup berjuang dijalan, miskin, menderita dan sekarang saatnya menuai hasil


Sedangkan yang mengambil posisi untuk tidak mengikuti pemilu, seperti yang dilakukan oleh Serikat Mashasiswa Indonesia dan KASBI (yang dalam press release menyatakan GOLPUT), berangkat dari argumentasi(3)

  1. Pemilu 2009 adalah sarana kaum borjuasi Indonesia untuk mengkonsolidasikan dirinya, sebagai kekuatan politik yang setia menjalankan program-program neoliberalisme, sehingga pemilu 2009 bukanlah pemilu rakyat (pemilu yang diabdikan) untuk kepentingan mayoritas rakyat
  2. Bahwa selama ini, program neoliberalisme telah gagal mensejahterakan rakyat, demikian pula dengan kekuatan-kekuatan politik pendukung neoliberalismepun telah gagal menjadi alat politik rakyat.
  3. Semakin meningkatnya ketidakpercayaan rakyat pada partai-partai politik borjuis,elit-elit politik borjuis, bahkan ketidakpercayaan pada mekanisme pemilihan borjuis (paling tidak angka golput yang tinggi diberbagai pilkada bisa menunjukan sikap politik rakyat yang makin muak
Dengan posisi yang berbeda ini, tentu layak untuk dijadikan perdebatan (secara terbuka) agar semakin jelas bagi rakyat, jalan mana yang bisa di ikuti untuk mengeluarkan mereka dari kemiskinan yang semakin akut.


Sebelum masuk pada polemik antara pilihan menjadi peserta pemilu dan tidak menjadi peserta pemilu, menurut saya sebaiknya di buka dulu dari pendiskusian mengenai apa yang menjadi problem pokok rakyat indonesia saat ini, yang menyebabkan rakyat Indonesia menjadi semakin miskin dan melarat. Pendiskusian ini menjadi relevan karena penilaian terhadap problem pokok rakyat indonesia ini, ikut mempengaruhi pilihan taktik dalam menghadapi pemilu 2009 ini.

Sebelum kenaikan harga BBM beberapa bulan lalu, secara sepintas tidak terlalu kelihatan adanya perbedaan yang besar (bahkan bisa dianggap tidak ada perbedaan, kecuali dengan AGRA-FMN) di antara kelompok gerakan (kiri) mengenai apa yang menjadi problem pokok rakyat indonesia. Pendiskusian yang ringan di forum informal hingga pertemuan formal dengan perdebatan-perdebatan panjang, tidak pernah keluar dari satu kesaamaan pandang, bahwa problem pokok rakyat indonesia saat ini adalah neoliberalisme sebagai satu sistem ekonomi-politik yang dijalankan oleh kekuatan politik yang berkuasa di Indonesia dari jaman Orde Baru hingga sekarang. Namun momentum kenaikan harga BBM kemarin (sebelum sudah kelihatan bibit-bibit perbedaan, namun tidak manifest dalam bentuk polarisasi yang cukup tegas) membuka perbedaan tajam, yang mau tidak mau harus dibuka.

Perbedaan utama bukanlah pada penilaian Neoliberalisme sebagai problem pokok, melainkan pada penilaian terhadap kekuatan politik elit (borjuis) dalam negeri, di mana sebagain gerakan kiri (yang di pimpin oleh PRD/PAPERNAS) memberikan definisi baru terhadap kekuatan politik dalam negri ini. Dengan melihat neoliberlisme sebagai bentuk penjajahan modal asing, yang di gerakan oleh kekuatan politik asing, maka posisi kekuatan politik elit (borjuis) dalam negeri, bukanlah problem pokok, melainkan harus dilihat sebagai potensi sekutu untuk melawan penjajahan modal asing ini, sebab kekuatan elit (borjuis) dalam negri juga berkepantingan dalam melawan penjajahan modal asing ini.

Paling tidak argumentasi ini di cerminkan dari tulisan I Gede Sandra(4) , yang berjudul Galang Persatuan Nasional!Tanggalkan Perbedaan dan Gali Persamaan(5) di mana dalam tulisan ini Gede Sandra memasukan Rizal Ramli, Amin Rais, Drajat Wibowo dari Politisi Sipil dan Hendropriyono, Wiranto, Prabowo dari kalangan Militer sebagai tokoh-tokoh yang pro kemandirian bangsa, sehingga menurut Gede Sandra kekuatan ini adalah sekutu utama yang harus di rangkul dalam melawan penjajahan asing.

Argumentasi serupa juga di sampaikan oleh Haris Sitorus, yang saat ini menjabat sebagai Sekretaris Jendral PAPERNAS. Dalam Jurnal Bersatu, Haris Sitorus mengatakan bahwa musuh pokok rakyat indonesia saat ini adalah modal asing, sehingga seluruh kekuatan yang berpotensi untuk melakukan perlawanan terhadap modal asing, harus di satukan, bahkan pertarungan dalam negeri bisa di abaikan dulu.

Sementara yang lain, paling tidak kekuatan yang menjadi pengerak di Front Pembebasan Nasional (di mana KASBI maupun SMI terlibat juga didalammnya) menilai, bahwa penjajahan modal, bukan saja semata-mata karena modal asing, melainkan juga modal pribumi. Efektifitas penjajahan modal bisa tercapai selama ini ( dalam bentuk penjarahan kekayaan alam maupun aset-aset vital, dalam bentuk fleksibilitas tenaga kerja, dalam bentuk liberalisasi perdangan maupun pasar) karena seluruh kekuatan politik elit dalam negeri, tidak melakukan perlawanan apapun, bahkan justru berlomba-lomba menjadi sekutu(6) . Sehingga mengabaikan kekuatan politik elit dalam negeri sebagai musuh rakyat, jelas merupakan suatu kekeliruan yang besar.

Fenomena beberapa tokoh politik elit yang saat ini melakukan kritikan (sebatas kritikan, bukan membangun gerakan) terhadap penjajahan modal (tertutama modal asing), di sebabkan oleh beberapa hal :


  1. Makin meluasnya gerakan rakyat (dalam bentuk mobilisasi-mobilisasi) melawan penjajahan kaum modal
  2. Situasi menjelang pemilu 2009, mengharuskan para tokoh ini untuk mencari muka, dihadapan rakyat yang semakin tidak mempercayai kepemimpinan para elit ini.
Dan bukan di sebabkan karena Elit-Elit Politik ini mempunyai karakter yang kuat untuk melawan modal asing, sebagai satu contoh: Rizal Ramli (di antara para tokoh yang saat ini mengkritik penjahahan modal asing, Rizal bahkan jauh lebih maju dengan terlibat dalam demonstrasi menolak kenaikan harga BBM) dalam wawancara di majalah Forum yang di kutip oleh Rakyat Merdeka Online(7) , menyampaikan di hadapan Managing Director IMF untuk Asia Pasifik Hubert Neiss, bahwa dia dapat memahami kenaikan harga BBM, hanya timingnya saja yang tidak tepat. Pernyataan ini dikeluarkan dalam pertemuan di akhir bulan april 2008. Artinya demonstrasi menolak kenaikan harga BBM yang di lakukan Rizal Ramli, bukan berlandaskan pada penjajahan modal, melainkan hanya karena waktu kenaikan BBM yang tidak tepat, jika kenaikan BBM di lakukan beberapa bulan lagi, atau satu tahun lagi, mungkin Rizal akan mendukung.

Inilah yang kemudian menjadi landasan untuk mengambil taktik yang berbeda (mengikuti pemilu atau tidak) dalam merespon pemilu 2009, seperti yang sudah saya gambarkan di atas.

Saya sendiri jelas menolak berposisi untuk menjadi peserta pemilu 2009, bukan karena tidak bersepakat pada empat argumentasi awal di atas, melainkan lebih pada tidak tersedianya syarat bagi empat argumentasi tersebut bisa praktikal:
  1. Pemilu sebagai sebuah momentum politik nasional, jelas tidak bisa di tolak adalah panggung politik yang besar, yang menjadi perhatian (baik terpaksa maupun “sukarela”) sebagian besar rakyat Indonesia, namun panggung yang besar ini tidak secara otomatis akan menjadi panggung yang efektif bagi kaum pergerakan, dengan menjadi peserta pemilu. Ketidak efektifan ini disebabkan alat politik yang digunakan oleh kaum pergerakan bukanlah alat politik yang dibangun sendiri oleh kaum pergerakan; dengan programnya sendiri, dengan metode perjuangannya sendiri, dengan model organisasinya sendiri maupun dengan tokoh-tokonya sendiri. Dengan tidak adanya alat politik kaum pergerakan ini (sekalipun telah diupayakan dengan segala kelebihan maupun keterbatasannya), maka kaum pergerakan harus masuk atau menjadi bagian dari alat politik yang lain, dan tepat pada point ini, alat politik yang ada (yakni partai-partai politik yang menjadi peserta pemilu 2009) tidak ada satupun yang mendekati apa yang selama ini di perjuangkan oleh kaum pergerakan Indonesia, sehingga menjadi bagian dari kekuatan penindas ini,tentu saja akan semakin memperkuat posisi politik kaum penindas ini untuk mendapatkan legitimasi dari rakyat yang sudah semakin mengecil. Sekalipun saat ini (dan juga pada pemilu yang lalu ataupun pada pemilu-pemilu selanjutnya), sebagian partai (bahkan mungkin semua) menyatakan partainya sebagai partai yang pro rakyat, partai yang membawa misi perubahan, partai yang anti neoliberalisme, partai yang mendukung kemandirian bangsa, partai yang pro klas pekerja, partai yang pro petani dan partai yang baik di berbagai hal lainnya,sebenarnya sudah bisa ditebak tujuan sebenarnya dari kemunafikan partai-partai ini, tidak lain dan tidak bukan hanyalah untuk mendapatkan suara terbanyak dalam pemilu 2009 nanti, sehingga partai ini bisa mendapatkan kekuasaan, dan begitu kekuasaan sudah dalam gengaman, seketika itu pula watak asli mereka akan kelihatan. Itulah sebabnya kemarin-kemarin(dan kedepannya) kita tidak pernah melihat upaya yang sungguh-sungguh dari partai ini dalam membela kepentingan rakyat, kecuali sungguh-sungguh dalam menipu dan menindas rakyat. Partai-partai yang akan menjadi peserta pemilu 2009, bukanlah partai yang dari awal pendiriannya ditujukan untuk membela kepentingan rakyat, sekalipun dalam 1-2 kalimat, menyatakan diri untuk hal ini, namun proses pembentukannya, tokoh-tokohnya, metode perjuangannya, konsisntensi perjuangannya tidak secuilpun memberikan gambaran sebagai partai politik yang sejalan dengan kepentingan rakyat. Sehingga ketika Dita Sari menyampaikan bahwa PBR (mungkin juga ada aktifis lain yang mengatakan hal serupa untuk membela partainya) adalah partai yang terbaik diantara yang terburuk, ini hanyalah retorika yang persis sama dengan retorika yang sering dikeluarkan dari mulut busuk para politisi borjuis. Dengan demikian, tujuan untuk memperluas kampanye program-program kerakyatan jelas tidak akan tercapai (toh semua partai juga akan bicara program-program kerakyatan agar bisa mendapatkan dukungan suara yang paling banyak), kecuali jika diperlihatkan pada rakyat perbedaan-perbedaan antara program kerakyatan yang di suarakan oleh kaum pergerakan dan program kerakyatan yang di lontarkan oleh partai-partai borjuis itu, sekaligus menunjukan pada rakyat kegagalan partai-partai itu selama ini dan potensi kegagalan partai-partai tersebut di masa depan. Namun jika ini dilakukan oleh kaum pergerakan (yang sekarang sudah menjadi bagian dari partai tersebut), maka sangat mungkin mereka akan di depak, di coret caleg ataupun sebagai pengurus partai, dan sayangnya hingga kini tidak ada yang mengeluarkan statement untuk siap di pecat dari partai karena alasan di atas.
  2. Dengan biasnya program kerakyatan, ditambah dengan alat politik yang digunakan adalah alat politik milik borjuasi, maka sudah bisa dipastikan struktur organisasi yang akan meluas adalah struktur organisasi dari borjuis ini. Dita Sari sebagai caleg PBR dari Dapil Jateng V, tentu saja akan membangun strukur PBR di sana (bukan struktur PRD, PAPERNAS maupun FNPBI atau organ gerakan lainnya), sebab yang maju ke pemilu adalah PBR, bahwa kemudian struktur PBR ini nantinya akan dijadikan struktur PRD/PAPERNAS atau lainnya, tentu saja akan membutuhkan waktu yang lama (dengan catatan bahwa Dita Sari cs harus cukup lama menjadi struktur PBR, yang artinya tidak boleh berkonfrontasi dengan PBR, misal dalam hal posisi PBR yang juga ikut mendukung pembubaran Ahmadyah, Dita sebagai antifis gerakan tidak bisa secara terang-terangan melawan posisi PBR ini). Menjadi lebih lama lagi prosesnya, karena struktur politik yang terbentuk adalah mesin politik pemilu (mesin politik pengumpul suara), bukan mesin politik pergerakan, sebab dalam mekanisme pemilu ada banyak hambatan bagi struktur politik yang ada menjadi struktur pergerakan, misalnya hambatan untuk melakukan aksi-aksi menolak berbagai kebijakan anti rakyat di Dapil V Jateng atas nama PBR ( jikapun harus dilakukan, maka akan dilakukan dengan nama organisasi lain-entah PRD/PAPERNAS atau lainnya- yang dalam taktik kampanye, tidak efektif untuk memenagkan PBR sebagai Partai maupun Dita sebagai Caleg, karena rakyat melihat bukan PBR yang berpihak pada rakyat, sementara yang maju ke pemilu adalah PBR). Sekarangpun ini sudah terjadi, Serikat Rakyat Miskin Indonesia (yang juga bagian dari PAPERNAS, dan juga mendukung PBR) baru-baru ini melakukan aksi massa dengan jumlah massa yang cukup besar di Jakarta, namun PBR sebagai partai yang di usung oleh SRMI (apalagi PBR telah melakukan kontrak politik dengan SRMI) tidak muncul sama sekali dalam aksi ini (dalam ukuran liputan media massa, sekalipun mungkin saja Marlo Sitompul dan Pimpinan-Pimpinan SRMI lainnya dalam orasinya berbicara mengenai PBR), tidak munculnya PBR tentu saja di sebabkan karena aksinya masih menggunakan SRMI bukan PBR. Dalam konteks PBR (berbeda dengan PDIP, GOLKAR, PKS atau Partai Besar lainnya), maka pembangunan struktur PBR hanya sebagai mesin pengumpul suarapun sangat sulit dikerjakan, ditengah situasi PBR bukan partai yang populer, dan juga bukan partai yang memperjuangkan kepentingan rakyat. Dalam situasi ini, maka pembangunan struktur PBR hanya mungkin dilakukan dengan dua cara (seharusnya tiga cara, kalau aksi-aksi pembelaan rakyat yang dilakukan oleh PRD/PAPERNAS/SRMI/LMND/STN dan Organ PAPERNAS lainnya mengunakan nama PBR, namun dilihat sampai sekarang, nampaknya ini tidak akan dijadikan taktik utama, atau sangat mungkin taktik ini tidak akan digunakan). Cara pertama adalah dengan kampanye konvensional dengan tekanan kampanye PBR adalah partai yang layak di pilih oleh rakyat dalam pemilu 2009 nanti, dan ketika ada rakyat yang tahu bahwa PBR juga ikut dalam berbagai kebijakan yang merugikan rakyat, maka mau tidak mau kebusukan PBR ini harus di tutupi, sekali lagi dengan retorika ala politisi busuk. Mungkin akan di katakan.” Yaaa..wakil kami di DPR/D kemarin masih sedikit, sehingga kami tidak berbuat banyak” atau mungkin mereka akan mengatakan “ Itu kan perbuatan oknum, bukan kebijakan partai” atau mungkin juga mereka akan mengatakan “ tahun kemarin kebijakan seperti belum bisa, tapi kalo tahun depan pasti akan kami lakukan. Cara kedua untuk membangun mesin pengumpul suara, tentu saja sama seperti partai-partai lainnya adalah dengan memberikan sogokan-sogokan dalam berbagai bentuk, dari yang paling sedikit ongkosnya, sampai ongkos yang sangat sangat banyak (sebagai contoh, Nurul Arifin dalam Dialog di salah satu TV Swasta, mengatakan bahwa modal minimal untuk bisa lolos kurang lebih 1 Milyard, angka yang sangat besar sekalipun Nurul Arifin termasuk caleg yang populer dari partai yang besar, yakni Golkar) Lalu berapa biayanya untuk celeg yang tidak sepopuler Nurul dari Partai yang juga tidak populer/kecil? Jikapun ada biayanya (mungkin saja ada bandar politik yang sanggup membiayai), maka cara membangun struktur dengan menyogok massa, jelas bukan cara untuk membangun gerakan, yang artinya keinginan untuk memperluas struktur gerakan melalui pemilu hanyalah omong kosong.
  3. Artinya peluang untuk masuk menjadi anggota DPR/D pun sangat kecil, dan jikapun berhasil (dengan cara-cara di atas) maka kemungkinan untuk menjadi anggota DPR yang radikal, yang sanggup memperjuangkan kepentingan rakyat menjadi sangat kecil, karena dalam proses menuju anggota DPR/D sudah menanggalkan prinsip-prinsip perjuangan, dan saya tidak percaya, dengan proses yang seperti itu, maka secara ajaib akan muncul anggota DPR/D yang diharapkan oleh rakyat
Artinya taktik kaum pergerakan untuk bergabung dengan partai-partai peserta pemilu 2009 ini, lebih di sebabkan oleh alasan pramatis yang telah saya sebutkan di atas.

Bersambung…..(8)

catatan kaki :

  1. Koordinator Departemen Kampanye dan Penyatuan Gerakan Dewan Harian Nasional Persatuan Politik Rakyat Miskin; Koordinator Sementara Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia-Politik Rakyat Miskin; Mantan Koordinator Departemen Perjuangan Rakyat Dewan Pimpinan Pusat PAPERNAS; Mantan Staff Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik.
  2. Untuk Pemillu 2009, PRD dan Organ-Organ Sewakawannya, memilih bergabung dengan Partai Bintang Reformasi (PBR), yang dulunya merupakan pecahan PPP. Saat ini PBR, sebagai salah satu partai yang berazaskan Islam, memiliki 14 kursi di DPR, 62 kursi di DPRD Provinsi dan 265 kursi di DPRD Kabupaten/Kota
  3. Lebih lengkapnya bisa di baca dalam statament KASBI (www.kasbiindonesia.multiply.com)maupun SMI (www.kppsmi.wordpress.com )
  4. Pemimpin Redaksi Berdikari Oline dan Buletin Berdikari, Media Resmi DPP PAPERNAS
  5. http://papernas.org/berdikari/content/view/102/44/
  6. Bisa di lihat dalam peryaataan sikap Front Pembebasan Nasional menjelang kenaikan harga BBM. Bisa juga dilihat dalam siaran pers SMI atau KASBI. Demikian juga KPRM-PRD dalam terbitannya (majalah Pembebasan) atau LMND-PRM situsnya juga menyampaikan analisa yang sama. Buka: www.kppsmi.wordpress.com www.arahgerak.blogspot.com , www.kprm-prd.blogspot.com , www.lmnd-prm.blogspot.com
  7. http://www.myrmnews.com/indexframe.php?url=situsberita/index.php?pilih=lihat_edisi_website&id=58614
  8. Tulisan berikutnya adalah mengenai kemana arah pengorganisiran golput


Tidak ada komentar:

Baca Arsip Ini

Sebarkan Sosialisme


Jangan Berhenti Berpropaganda

Agen Sosialis

Mississippi Jones Act
Terus Berjuang Sampai Menang

Kamus Or Dictionary

Direct Action

Jelajah Dunia

Socialism 2008 - Malaysia

Jelajah ArahGerak

Media Borjuis


KRISIS LISTRIK DI INDONESIA

AGENDA PERLAWANAN RAKYAT

KPRM-PRD